Part 2 - Kalah

200 40 4
                                    

Wajah anggun Ratu Eugenie tidak kalah melawan waktu. Ibu memang tidak pernah kalah, kecuali terhadap satu hal. Tahta Ottoka yang tidak lagi dalam genggaman. Beliau tidak menyangka harus turun secepat itu. Setitik penyesalan muncul saat mendengar berita dari istana.

Pembunuhan terhadap Raja yang didalangi oleh Lady Madeleine tidak pernah muncul ke hadapan publik. Mereka menyimpan semua hal rapat-rapat, agar rakyat tidak panik maupun naik pitam karena dendam. Mendiang Raja Simon adalah pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya.

Di luar dugaan, Ibu tidak menyangka jika Ivana pandai bermuslihat. Dia sangat licin membiarkan dokumen intelijen dicuri. Dokumen yang ternyata palsu. Entah di mana Ivana menyimpan seluruh dokumen asli. Tidak adanya kabar dari Renee, mantan intelijen yang ditugaskan Ibu, mengindikasikan kemungkinan pria itu telah dihabisi.

Ivana memang tidak pernah terjun dalam pemerintahan sebelumnya. Namun, dia memiliki latar belakang Ilmu Politik, seperti halnya Bastian. Keduanya akan diwisuda bulan depan dari kampus. Ivana langsung menerapkan ilmunya dengan mantap. Dia patuh, dia mendengarkan, dia ramah, sekaligus berkemampuan menunjukkan siapa yang sesungguhnya menjadi ratu. Keramahan sekaligus ketegasannya membuat Ivana sekarang begitu dicintai rakyat.

"Saatnya makan siang, Yang Mulia." Stella, asisten kepercayaan Ibu datang menghadap. "Anda telah melewatkan sarapan tadi pagi. Saya rasa ..."

"Aku akan makan," angguk Ibu. "Siapkan segera."

"Baik, Yang Mulia."

Stella berlalu untuk memberitahu pihak dapur. Satu bulan sudah Ratu Eugenie berasa di Istana Musim Dingin. Beliau sepertinya tidak ingin pulang. Berada sendirian di istana ini mungkin bisa mengalihkan pemikiran akan kenyataan. Ibu bukan lagi ratu yang berkuasa.

Ibu melangkah menuju balkon kamar. Bunga-bunga indah telah bermekaran satu persatu. Ibu tidak akan pulang untuk penutupan Pesta Rakyat dan Gala Dinner. Ibu belum siap muncul sebagai Ibu Suri. Biasanya selalu ada Ayah yang mendampingi. Pengumuman pertunangan Bastian dan Ivana adalah perjamuan terakhir untuknya. Selain itu, Ibu belum siap bertemu secara formal maupun pribadi dengan orang yang satu itu.

Perdana Menteri Dwight Howard sanggup dihadapi Ibu jika didampingi Raja Simon. Sekarang, Ibu tidak sanggup. Beliau merasa lemah. Waktu satu bulan tidak cukup untuk beristirahat. Ibu akan meminta pada Bastian agar diizinkan pindah untuk selamanya ke istana ini. Beliau akan mundur selamanya, kalah dari Ivana.

Pintu kamar kembali diketuk sopan. Stella memberi hormat. "Makan siang telah tersedia, Yang Mulia."

Ibu melangkah menuju pintu. "Makanlah dengan benar, Stella," katanya. "Setelah ini, temani aku di ruang kerja. Ada surat penting yang harus disampaikan pada Raja."

"Baik, Yang Mulia."

***

Bekas pecahan gelas, piring dan botol anggur mengotori ruangan. Ayah dan Ibu belum mengetahui semua ini. Vanessa sengaja mematikan ponsel. Dia hanya meninggalkan pesan untuk berlibur di paviliun keluarga dan tidak boleh diganggu. Memiliki wajah yang amat sangat dikenal publik sebagai bangsawan sekaligus sosialita Ottoka Raya membuatnya tidak leluasa menemui dokter untuk mengakhiri semua kekalutan. Riley yang diharapkan agar bisa menolong, tidak kunjung menghubungi.

Vanessa panik. Kehamilan tidak bisa disembunyikan terlalu lama. Walau Vanessa tetap melaksanakan olahraga rutin seperti kardio dan angkat beban, berharap mengalami keguguran, semuanya sia-sia. Janin milik Spencer bertahan dengan keras kepala, kuat seperti ayahnya. Vanessa bahkan tetap mengonsumsi alkohol, tapi tidak ada tanda-tanda janin itu akan menyerah.

Tidak ada yang bisa menjamin identitas Vanessa tidak akan bocor ke publik jika dia mengunjungi klinik dengan dokter berlisensi. Untuk mengunjungi klinik ilegal, Vanessa tidak ingin mengambil resiko dengan taruhan nyawa. Saat ini, dia hanya bisa menatap muram pada taman paviliun yang telah dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Cepat atau lambat, para pelayan di paviliun ini akan segera mengetahui apa yang terjadi.

Vanessa menatap penuh harap pada pesawat telepon di sudut kamar. Riley tidak balas menghubungi. Sepertinya tidak akan pernah.

Tiba-tiba pesawat telepon itu berdering. Vanessa bangkit dari lantai dengan penuh harap. Mungkin saja Riley menaruh sedikit rasa kasihan padanya. Tangan Vanessa gemetar saat meraih gagang telepon. "Halo," sapanya hati-hati.

"Vanessa ..." panggil sebuah suara dingin yang sangat dikenal. "Jangan berpikir untuk bisa lari. Satu panggilan telepon dariku, cukup untuk merusak nama keluargamu di mata seluruh Ottoka, Nona Westmore."

"Spencer ..." desis Vanessa geram. "Kurang ajar. Aku ..."

"Ckckck, bukan kamu yang akan bicara, Vanessa. Aku tahu kamu panik. Telah terjadi sesuatu di antara kita yang berakibat sangat panjang, bukan? Aku bisa mengirimkan rekaman CCTV pada media, berikut seluruh bukti tindakan kriminalmu."

"Coba saja!" teriak Vanessa. "Kamu dengan sendirinya juga akan terseret!"

"Aku tidak peduli," timpal Spencer tenang. "Tapi aku yakin kamu peduli."

"Apa maumu?"

"Aku sesungguhnya hanya ingin menawarkan bantuan, tapi kamu malah lari. Apa pun kesulitan saat ini, bisa aku hapus dalam sekejap, Vanessa. Tapi ..."

"Tentu saja tidak secara cuma-cuma," potong Vanessa. "Semua yang kamu minta akan selalu disertai ancaman dan pemerasan!"

"Ah, kamu memang sangat mengenalku," kata Spencer lagi. Dia tertawa kecil. "Ironisnya, aku menganggapmu cocok menjadi ibu dari anak-anakku. Panggilan ini juga aku rekam, Nona Westmore. Temui aku dua jam lagi di Moonlight Cafe, atau ... tahu sendiri akibatnya. Aku tahu persis di mana kamu berada."

Sambungan ditutup sepihak. Vanessa semakin geram. Diraihnya vas bunga lalu dilemparkannya ke arah cermin. "Aaarrrggghhh!!!" teriaknya kesal. Cermin itu, yang memantulkan wajah cantik Vanessa, pecah berantakan, berikut dengan pantulannya.

Salah seorang pelayan datang tergopoh. "Nona, anda tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Vanessa mengatupkan rahang. "Bersihkan ruangan ini," titahnya singkat, lalu beranjak menuju kamar mandi.

"Baik, Nona."

Vanessa tidak punya pilihan selain menemui Spencer. Pria itu bisa mengirimkan segala barang bukti tindakan kiriminal Vanessa pada media dan juga polisi. Bastian pasti tidak akan mengintervensi hukum untuknya. Vanessa tidak punya muka lagi untuk muncul di istana, terutama di hadapan Ratu Eugenie. Hal yang paling menyakitkan adalah bahwa dirinya telah dikalahkan oleh perempuan dari kalangan rakyat jelata itu. Dia telah kalah dari Ivana.

***

The Queen 2: Her MajestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang