Part 4 - Lihat Saja Nanti

150 40 0
                                    

Riley tidak bisa mengalihkan pandang begitu Ivana memasuki ruangan bersama Bastian malam itu. Setelah formalitas kerajaan, kedua orang paling penting di Ottoka itu berbaur dengan para tamu. Para Dewan Kerajaan, kerabat, petinggi Royal Military hingga para duta besar hadir untuk gala dinner. Perdana Menteri Howard juga turut hadir walaupun Ratu Eugenie memutuskan untuk tidak turun gunung.

"Pelayaran yang mengesankan, Admiral," sapa Ivana ramah. Bastian sendiri telah berbaur dengan para tamu lain. "Aku mendapatkan banyak ucapan terima kasih dan penghargaan terhadap lawatan perdamaian yang anda pimpin."

Riley memberi hormat. "Berkat dukungan anda dan Yang Mulia Raja, Yang Mulia. Kita harus membuktikan bahwa seluruh pembuat kebijakan di Ottoka sangat solid dan bersedia bekerja sama dengan negara mana pun."

Ivana mengangguk. "Aku senang mendengar itu, Admiral. Karir anda, tidak diragukan lagi, akan sangat cemerlang di masa depan."

Riley berdebar. "Saya harap Yang Mulia Raja dan Ratu berumur panjang. Saya akan selalu dampingi dengan nyawa."

Senyum di wajah Ivana sedikit berubah. "Jadi kurasa, kamu sudah tahu apa yang terjadi, Riley," bisiknya. "Bastian butuh bicara denganmu. Bukan sebagai raja dengan seorang admiral, melainkan sebagai sahabat lama. Saudara, mungkin saja."

Riley mengangguk. "Besok pagi-pagi sekali, saya akan temui Yang Mulia Raja," katanya. "Untuk saat ini, kita tidak bahas apa pun di sini, Yang Mulia."

Ivana menatap Riley dengan sorot mata yang membuat admiral itu tidak berdaya. "Kekompakan kita adalah segalanya. Ingat itu, Admiral."

Riley mengangguk hormat. "Yang Mulia Ratu jangan khawatir. Oh iya, selamat atas suksesnya Pesta Rakyat. Saya bangga menjadi bagian dari Ottoka Raya."

Ivana kembali tersenyum. Dia kemudian berlalu dengan gaun biru dan mahkota indahnya. Ratu itu menyapa tamu-tamu yang lain sementara Riley juga mulai asyik berbincang dengan para koleganya.

"Menyenangkan sekali bisa dekat dengan Raja dan Ratu," sapa sebuah suara dari belakang.

Riley menoleh dari perbincangannya. Wajah tampannya tersenyum saat mengetahui identitas penyapa. "Elizabeth McKenzie," sapanya ramah. "Duta Besar termuda sepanjang sejarah Negara-negara Utara. Senang bertemu dengan anda di sini."

"Admiral Horward, anda terlalu formal," balas Elizabeth. "Saya menyapa untuk mengucapkan selamat atas suksesnya lawatan perdana kapal Queen Ivana. Anda pergi dengan misi perdamaian, pulang dengan banyak sekutu. Pantas saja Yang Mulia Raja dan Ratu sangat mempercayai anda."

"Anda sendiri ..."

"Tolong, panggil Liz saja. Untuk seseorang yang menghabiskan sebagian besar hidup di Ottoka, bisa dibilang, aku lebih mengenal negara ini ketimbang tanah kelahiranku sendiri, Riley."

Riley tersenyum. "Aku turut senang mendengar itu, Liz," balasnya. "Jangan bilang kamu tidak begitu mengenal tanah airmu. Mereka dengan bangga mengirimmu sebagai salah satu perwakilan."

"Aku senang dengan ramah-tamah ini, Riley," sambung Elizabeth. Dia menoleh ke arah meja-meja makan yang telah disusun dengan rapi dan cantik di ruangan yang sangat luas itu. "Kita semeja, jika kamu belum tahu."

"Tentu saja aku tahu, Liz. Tadi aku lihat denahnya." Riley kembali tersenyum. "Dengan pejabat kerajaan, menteri dan petinggi Royal Air Force. Raja dan Ratu ingin semua orang berbaur."

"Dan hanya kita yang datang sendirian." Elizabeth sedikit meringis. "Bahkan Perdana Menteri Howard telah menemukan teman berbincang yang dipastikan ..."

Riley segera mengetahui arah pembicaraan Elizabeth. "Baiklah," katanya geli. "Aku akan menyelamatkanmu malam ini, Bu Duta Besar. Aku akan menjadi pasangan dansamu. Jangan khawatir."

"Syukurlaaah ..." sambut Elizabeth lega. "Kamu tidak akan tahu betapa berhutang budinya aku."

"Bisa dibayar nanti," canda Riley.

"Ternyata ada harganya." Elizabeth terbelalak. Mata indahnya berkilau memancarkan kecerdasan. "Aku tidak menyangka kalau Admiral Riley Howard adalah seorang pebisnis."

"Kamu akan senang berbisnis denganku, Liz. Kita lihat saja nanti."

***

"Sekarang atau terlambat." Vanessa segera duduk begitu menemukan Spencer di meja sudut Moonlight Cafe. Dia menurunkan kacamata hitam. "Tidak ada yang boleh mengenaliku."

"Sayang sekali rambut indah itu harus ditutup topi," komentar Spencer. "Kamu terlihat konyol dengan kacamata hitam di malam hari dan ..."

"Hentikan. Aku tidak punya waktu untuk mempertimbangkan gaya busana," potong Vanessa. "Aku sangat panik. Cepat atau lambat, seluruh dunia akan tahu. Aku bisa dipenggal oleh orang tuaku, Spencer!"

"Sayang sekali." Spencer mengangkat bahu. "Kamu tahu aku ingin sekali jadi ayah."

"Omong kosong!" sergah Vanessa. "Kamu bilang ada jalan keluar."

Spencer bersandar pada kursi dan melipat tangan di depan dada. Diamatinya Vanessa dengan serius. "Kamu bisa bersembunyi di rumahku hingga anak itu lahir. Bagaimana?"

"Tidak mungkin!" Vanessa mengepalkan tangan kesal. "Aku butuh seseorang yang bisa melenyapkan ini semua dengan aman."

"Tidak ada yang aman," kata Spencer sambil lalu. "Aborsi karena alasan ilegal tidak diperbolehkan di negara ini. Para dokter tidak ingin mengambil resiko. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Jika kamu memaksa, kita bisa mencoba."

"Maksud kamu?" Vanessa menyipitkan mata, berusaha mencerna perkataan Spencer.

"Kita tidak butuh dokter," jelas Spencer akhirnya. "Tapi aku tidak yakin kamu mau berurusan dengan orang ini."

"Apakah dia akan mengenaliku?"

"Tidak," geleng Spencer. "Itulah masalahnya. Jika dia tidak mengenalmu, bayangkan betapa terisolasinya dia. Tidak ada yang bisa menjamin keamananmu."

"Lakukan," putus Vanessa. "Aku tidak peduli."

"Aku tidak menyarankan ..."

"Satu juta Euro." Vanessa kembali memotong pembicaraan. "Tunai, tanpa melalui rekening."

Senyum licik Spencer seketika mengembang. "Kamu memang sangat mengerti aku, Sayang," ujarnya. "Sayang sekali hubungan kita tidak berhasil. Kamu bisa pikirkan lagi di masa mendatang. Kita akan menjadi tim yang sangat kompak."

"Hanya orang gila yang tahan denganmu." Vanessa mengambil tas tangan yang tadi diletakkannya di bawah meja. "Silakan periksa dan hitung. Jika kurang, kamu bisa menghubungi aku. Yang pasti aku butuh penanganan sekarang. Malam ini juga."

"Dengan senang hati." Spencer mengedipkan mata. Dia memeriksa isi tas lalu tersenyum puas. "Ingat, jangan sampai kurang. Pembicaraan ini direkam. Kamulah orang gila itu, Vanessa."

"Terserah." Vanessa mengibaskan tangan. "Antarkan aku ke sana."

Spencer mengangguk. "Siap melayani anda, Nona Westmore. Saya menyukai bisnis ini."

Cahaya bulan, lampu-lampu jalan dan sisa-sisa kemeriahan penutupan Pesta Rakyat menjadi saksi saat Vanessa dan Spencer menyetir ke arah luar kota. Dua mobil itu beriringan menembus kegelapan, menuju tempat yang tidak diduga ada oleh Vanessa sebelumnya. Apa pun itu, dia siap menghadapi. Asalkan masalahnya bisa lenyap malam ini.

***

The Queen 2: Her MajestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang