Part 7 - Permintaan

168 34 0
                                    

Stella mengetuk pintu yang memang sudah terbuka, lalu memberi hormat. "Perdana Menteri Howard datang untuk menemui anda, Yang Mulia," katanya. "Beliau menunggu di ruang tamu utama."

Istana Musim Dingin yang ditempati Ratu Eugenie hingga musim semi tahun ini terasa hangat. Para perancangnya telah mengatur agar istana ini tidak terlalu dingin di musim dingin, dan juga tidak terlalu panas di musim panas. Pemilihan material yang tepat membuat istana tidak begitu memerlukan pengatur suhu tambahan.

Ibu menoleh dari lamunan di depan jendela. "Aku tidak punya janji, Stella."

"Perdana Menteri bilang bahwa beliau menyadari itu, Yang Mulia." Stella melanjutkan. "Beliau minta waktu."

Ibu masih ingin menolak, tapi kemudian menyadari bahwa Stella hanya sedang menjalankan tugas. Beliau mengangguk. "Baiklah," katanya sambil berjalan ke luar ruangan, menelusuri banyak koridor hingga tiba di ruang tamu utama. Ibu kemudian menoleh pada Stella yang mengikuti di belakang. "Ini pertemuan pribadi. Tidak ada yang boleh masuk."

"Baik, Yang Mulia." Stella mengundurkan diri untuk mempersiapkan perjamuan kecil bagi Perdana Menteri, layaknya etika saat menerima tamu.

Ibu masuk ke ruang tamu lalu menutup pintu. Perdana Menteri Howard segera memberi hormat. "Semoga Yang Mulia Ratu berumur panjang," katanya.

"Seorang Perdana Menteri akan membicarakan urusan negara dengan kabinet dan Dewan Kerajaan," kata Ibu langsung. "Katakan, apa kepentinganmu di sini. Bastian tidak bisa datang sendiri hingga perlu mengadu?"

Pa tersenyum sabar. "Bastian tidak bisa mengatakannya karena kamu tidak memberi kesempatan, Eugenie. Ini memang urusan pribadi. Kamu tidak pernah memberikan kesempatan pada Raja untuk mengatakan bahwa dia butuh ibunya." Beliau mengacungkan sepucuk surat. "Alih-alih menghadapi kenyataan, kamu malah lari dan menulis surat pengunduran diri dari tugas-tugas kerajaan. Ini memang bukan urusanku. Aku datang sebagai sahabat."

Ibu duduk di sofa. Beliau membuat gerakan mempersilakan Pa untuk ikut duduk. "Sudah ada Ivana di sana. Bas tidak membutuhkanku."

"Omong kosong," kata Pa langsung. Beliau duduk di hadapan Ibu. "Ibu Suri masih memiliki banyak tugas negara. Kamu merasa kalah karena berusaha menyerobot apa yang menjadi tugas Ivana. Saat keadaan memburuk, kamu justru lari ..." Beliau menghela napas. "... seperti biasa."

"Jangan merasa sok tahu mengenai aku, Dwight," balas Ibu tajam. "Aku tidak butuh kecamanmu. Tidak peduli jika seluruh rakyat Ottoka memilihmu."

"Tapi aku benar, kan?" Pa tidak kalah ngotot. "Kamu bersikap defensif begini karena aku benar. Eugenie, ayolah. Ottoka membutuhkanmu. Bastian dan Ivana ingin datang langsung, tapi aku larang. Aku menemuimu, untuk memintamu kembali ke Ibukota. Ada banyak kunjungan sosial yang menunggu kehadiranmu."

Ibu mengerutkan kening. "Ada masalah darurat?"

Pa mengangkat bahu. "Entahlah. Aku hanya berurusan dengan pemerintahan. Istana punya otoritasnya sendiri. Aku tidak ingin melibatkan diri ..."

"Kamu sedang melibatkan diri," potong Ibu segera.

"Aku hanya sedang menemui sahabatku ..." Pa berpikir sejenak. "... perempuan yang pernah kucintai. Tolonglah, dengan mengenyampingkan semua yang sudah terjadi, Ibu Suri punya lembaran baru yang harus diisi."

Ibu memandangi Pa dan teringat segala hal tentang mereka di masa lalu. Beliau memandangi jendela. "Kamu benar," katanya lirih. "Aku memang selalu lari saat merasa gagal. Aku bisa apa, Dwight? Bahkan Brayden tidak lagi di bawah komandoku."

"Lupakan intelijen yang bukan lagi urusanmu," kata Pa. "Urusanmu sekarang adalah masalah sosial. Istana dan parlemen masih tidak habis pikir dengan idemu untuk mengadakan wajib militer bagi perempuan."

"Aku hanya ingin agar mereka setara," jawab Ibu. "Itu bukanlah rencana yang buruk. Kamu membuatku terdengar seperti penjahat."

"Kenapa kamu membenci Ivana, Eugenie?"

"Aku tidak membencinya. Aku cuma tidak percaya bahwa cinta diperbolehkan oleh Monarki. Dwight, setiap pernikahan di istana, sejak dulu adalah pernikahan politik. Lalu Bastian dengan seenaknya jatuh cinta dan ..."

"Eugenie, jangan menyalahkan orang lain atas apa yang tidak bisa kita miliki." Pa kembali tersenyum. "Kita tidak seberani mereka saat itu."

"Kamu menyesal?"

"Ada penyesalan, tentu saja. Tapi kita harus akui bahwa Bastian dan Riley adalah hal terbaik yang hadir dari keputusan tersebut." Pa menatap Ibu. "Aku tidak pernah berhenti mengagumimu, Yang Mulia. Aku berharap punya kekuatan seperti Bastian, tapi tidak."

Ibu tertawa kecil. "Kamu kagum pada Bastian?"

"Dia berani membawa Ivana masuk istana. Dia berani mengakui cintanya ada seluruh Ottoka. Kamu tahu apa artinya itu?"

"Bahwa Bastian seorang pembangkang?"

Pa menggeleng. "Bahwa Yang Mulia Raja Bastian dari Ottoka tidak bisa ditekan oleh apa pun dan siapa pun. Dia tegas terhadap hidupnya. Dia juga bisa setegas itu terhadap kedaulatan negara. Percayalah, Eugenie. Ottoka berada di tangan pemimpin yang tepat."

"Aku tidak ..."

"Dan di bawah pimpinan Bastian, seluruh istana dan lininya akan menjadi sekokoh itu. Akan sangat lucu jika Ibu Suri justru bersembunyi."

Ibu kehabisan bahan berdebat. "Aku tidak bisa membantah perkataan Perdana Menteri."

"Aku minta maaf untuk semuanya, Yang Mulia. Aku juga berjanji bahwa tujuan istana dan pemerintahan adalah sama. Demi Ottoka yang terus berdiri kuat. Bastian dan Ivana juga akan terbentur suatu saat nanti. Pada siapa lagi mereka bisa percaya jika bukan padamu?"

"Bastian yang memintamu datang?"

"Iya," angguk Pa. "Secara tidak resmi. Surat resminya akan segera menyusul. Istana menunggumu, Eugenie. Kita tidak tahu siapa kawan yang bisa berubah jadi lawan maupun sebaliknya. Mereka akan senang jika kamu tidak ada. Kamu masih punya pengaruh besar. Madelaine telah membuat Yang Mulia Raja Simon terbunuh. Dia tinggal menunggu eksekusi."

"Suaminya mencariku?"

"Baron Ward telah mengerti apa yang terjadi. Beliau tidak punya muka lagi untuk menghadapi adiknya sendiri." Pa berdiri. "Kurasa, Ibu Suri mengerti dengan apa yang harus dilakukan. Surat Bastian nanti hanya akan jadi formalitas. Aku mohon, jangan ada penolakan. Negara ini sudah cukup dengan drama. Aku hanya sedang mewakili permintaan seorang anak, sebagai sahabat baik ibunya."

Pintu ruang utama diketuk. Stella muncul untuk mengumumkan perjamuan kecil bagi Perdana Menteri. Pa setuju untuk berada di sana hingga sore, memastikan Ibu tidak berubah pikiran. Atau mungkin untuk memastikan bahwa sesungguhnya tidak ada yang berubah di antara mereka. Waktu mengubah banyak hal, tapi ada beberapa hal penting yang memutuskan untuk tetap sama.

***

The Queen 2: Her MajestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang