Rumah Angker Hotwell - Inggris (1)

8 3 4
                                    

Hotwell, Bristol, Inggris, tahun 1831.

Namaku Norman Hendry, aku adalah seorang pelayan Tuan Samuel Jonnah. Hari ini kami berkemas dari kediaman kami yang lama ke Bristol.

Tuan Samuel adalah seorang lansia pensiunan pengacara. Dia mempunyai seorang putri cantik bernama Christien Jonnah, gadis itu baru menginjak usia 15 tahun bulan ini.

Karena itulah juga Tuan Samuel membeli rumah besar di alam terbuka seperti pinggiran kota Bristol ini. Memang kabarnya ini hanyalah rumah tua, namun harga untuk mendapatkannya cukup mahal. Rumah ini juga cukup terkenal bagi masyarakat setempat.

Di belakang rumah ini juga terdapat kebun yang luas dengan sungai yang mengalir di sekitarnya. Suasana yang begitu asri dan damai.

Oh, ya. Aku bukan satu-satunya pembantu keluarga Jonnah. Ada dua lagi rekanku bernama Amanda Saffier, dan George Hoppadaya.

Kami adalah tiga pelayan di keluarga ini. Aku orang yang bertanggung jawab untuk kebersihan rumah ini sekaligus pelayan Tuan Samuel langsung. Amanda adalah satu-satunya perempuan, dia bertanggung jawab untuk Christien kecil. Dan pria sangar itu mengurus kebun dan pekarangan rumah.

Beberapa jam perjalanan kami dari pusat kota, akhirnya kami tiba di rumah Hotwell. Sebuah tempat tinggal megah yang besar. Untuk mencapainya ada sebuah jembatan kokoh di sepanjang sungai yang membelah tanah Bristol dengan rumah ini.

"Akhirnya sampai juga," ujar Tuan Samuel seraya keluar dari mobilnya. Mobil ini cukup besar untuk kendaraan masa ini. Aku dan George duduk di depan untuk menyetir sedangkan Amanda, Tuan Samuel dan putrinya duduk di belakang.

Barang-barang kami semuanya ada di garasi. Aku memakirkan mobilku tepat di depan pintu rumah agar mudah untuk memindahkan barang.

George adalah yang paling kuat diantara kami, dia mengangkut lima tas berat sekaligus dan memasukkannya ke dalam rumah.

"Kalian susun saja barang-barangnya, dan buka semua kain yang menutupi barang-barang rumah ini. Bersihkan semuanya," perintah Tuan Samuel. Aku dan Amanda mengikuti langkah majikan kami ini.

Di lantai dua. Amanda mengambil arah lain untuk meletakkan barang milik Nona Christien sedangkan aku tetap berada di jalan yang sama untuk mengangkut barang ke kamar pak tua ini.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Tuan seketika saat kami sampai di biliknya.

"Kurasa ini adalah tempat yang sangat bagus tuanku. Sangat tenang dan asri di sini," jawabku sambil meletakkan kopernya di sudut kamar.

Dia kemudian tertawa kecil dan menghela nafas panjang, "Syukurlah."

Aku kemudian membersihkan kamar tuan Samuel dan membereskannya.

Seperti namanya, rumah ini memang sangat tua. Beberapa interiornya bahkan terlihat sangat antik. Sangat indah.

Mungkin seperti pahatan dari Roma atau semacamnya. Atau mungkin Perancis? Entahlah, tapi pahatannya sungguh luar biasa.

Setelah semuanya beres. Aku meninggalkan majikanku untuk beristirahat. Menyusuri lorong sendirian, aku membuka beberapa kain lain yang aku lewati.

Ada lukisan, dan lilin, bahkan sebuah piala perang kurasa. Tempat ini memiliki nilai sejarahnya tersendiri, tidak diragukan lagi kenapa harganya begitu mahal.

Saat aku hendak turun ke lantai dasar. Tiba-tiba ada sebuah suara dari kamar kosong yang ada di belakangku. Langkahku terhenti. Tubuhku seakan membeku. Tentu saja tidak ada yang menempati kamar satu itu. Hanya ada lima ruangan yang terisi dari sekian banyaknya kamar.

Kamarku dan kamar tuanku bersampingan, begitu juga kamar wanita juga bersampingan. Sedangkan George berada di samping kamar Amanda.

Lantas, siapa itu?

Aku tahu aku tidak salah dengar. Ketukannya cukup keras dari dalam kamar ini.

Aku menenggak ludahku sendiri. Mengumpulkan keberanian, aku mendekati kamar itu. Suara keras bagai suara besi yang terjatuh di lantai datang dari kamar tua ini.

Entah kenapa suhu di sekitarku semakin rendah. Tempat ini terasa begitu dingin saat mendekatinya. Aku memegang knok pintu itu. Saat memegangnya, tanganku seakan ditekan sangat kuat. Satu lagi tanganku yang memegang kunci bergemetar sangat kuat. Hingga akhirnya aku berhasil melepaskan segel pintu ini.

Aku mencoba memutar gagang pintu kamar tua ini. Dan "TRIIING", sekali lagi suara itu terdengar.

Aku segera menghempas pintu ini. Membukanya dengan sangat kuat. Saat itulah, tidak ada apa-apa di dalam sini.

Aku berdiri mematung di depan pintu kamar. Mulutku menganga, kaki gemetar.

"Suara apa tadi?" Tanyaku dalam hati. Aku memasuki kamar kosong ini. Hanya ada sebuah kasur tua dan barang lain yang tertutup kain.

Aku mengamati seisi kamar ini. Tidak ada yang terbuat dari besi.

Semuanya masih tertutup rapi, kecuali sebuah cermin di atas kasur. Cermin ukuran sedang dengan bingkai besi itu tergeletak di atas kasur.

Tidak ada keanehan. Tidak ada kekurangan. Benar-benar hanya sebuah kamar kosong.

"Keluarlah! Tunjukkan dirimu!" Teriakku. Aku mengira mungkin ada seorang yang menyelinap ke sini.

Tidak ada jawaban. Di ujung kamar ini, sebuah jendela masih ditutup oleh tirai tipisnya dan masih terkunci.

Aku membuka satu persatu lemari dan rak di kamar ini. Membuka semua kain yang menutupi barang-barangnya dan mengecek ke bawah kasur tua yang hampir ambruk ini.

Aku tidak tahu mengapa tapi ini adalah kamar paling tua dan jelek yang ada di tempat ini.

Aku tidak menemukan apapun. Tidak ada apa-apa. Penghasil suara tadi juga tidak ditemukan. Tidak ada alat besi. Tidak ada furnitur besi. Sebenarnya suara apa tadi?




Hotwell, Bristol, Inggris, hari ke-7

Sudah hampir satu Minggu kami berada di rumah ini. Tidak ada keanehan lain selain suara yang terakhir kudengar di kamar tua itu.

Semenjak aku menguncinya kembali, kamar itu tidak lagi aneh. Aku juga sudah menyimpan kuncinya di tempat aman sehingga tidak ada yang bisa masuk atau keluar dari sana.

Hari ini, kedua majikan kami menghadiri sebuah pesta di Bristol. Aku dan Amanda tinggal di rumah ini, sedangkan George akan mengantar mereka.

"Jaga rumah ini. Kami akan menginap di hotel malam ini, George nanti akan pulang setelah mengantar kami," ujarnya.

"Baik, tuan," aku dan Amanda menjawab hampir bersamaan sambil membungkukkan badan ketika majikan kami itu akan pergi.

Suara mobil George semakin menjauh. Dan lama-kelamaan suara itu menghilang di gelapnya malam.

"Hei, Hendry," panggil Amanda yang duduk termenung di sofa. Dia nampaknya mencemaskan sesuatu.

"Ada apa?" Tanyaku seraya mendekatinya.

"Aku merasa sesuatu mengawasi kita," Bisik gadis itu.

"Apa maksudmu?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya.

"Semalam aku melihat seekor monyet besar dan hitam di halaman, aku sudah melihatnya beberapa hari ini. Namun saat paginya dia tidak pernah muncul," dia merebahkan badannya di sofa dan memijat-mijat pundaknya sendiri.

"Mungkin dia hanya berjalan-jalan dari hutan," ujarku berusaha berpikir positif.

Memang cukup aneh jika aku terus memikirkan hal positif ketika aku sendiri mendengar suara aneh saat pertama kali kesini.

Setelah itu, Amanda terus menceritakan kejadian mengerikannya. Dan kami baru tersadar jika sudah jam 12 malam ....






To be Continued ....


Baiklah, karena kisah ini cukup panjang, Haru rasa tidak cukup diselesaikan sekarang :")

Stay tune wahai pembaca yang terhormat.

Haunted LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang