Kuchisake Onna

3 2 3
                                    

Apakah aku aneh? Ya, bisa dibilang begitu. Aku tidak memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Tentunya tidak juga dengan sesama jenis. Seakan-akan semua orang kupandang setara, tidak ada keistimewaan tersendiri yang melekat di diri mereka.

Sampai suatu hari, aku bertemu dengannya. Seorang wanita cantik yang kutemui di jalan. Tempat yang biasa aku lalui untuk menuju rumahku.

Dia ada di sana. Berjalan gemulai di bawah sinar rembulan yang muncul setelah senja baru saja berlalu.

Rambutnya hitam panjang hingga menutupi punggungnya, rapi, dan terlihat sangat halus. Bajunya putih bersih tanpa goresan seperti gaun pesta yang indah.

Aku terus bersama dengannya. Mengikutinya dari belakang. Sampai akhirnya kami berpisah di perempatan jalan.

Ah, wanita yang sangat cantik. Aku belum melihat wajahnya sepenuhnya. Namun hatiku sudah terpanah oleh keindahannya.

Malam itu, pikiranku penuh dengan dirinya. Bertanya-tanya apakah kami akan bertemu lagi? Atau dewa hanya mempermainkanku dengan memperlihatkan gadis itu?

Aku terus terjaga, mencoba menenangkan pikiranku yang tak kunjung usai berpikir. Satu atau dua jam berlalu, hingga akhirnya aku terlelap di kasurku.

Esok harinya. Aku lewat di jalan yang sama, di waktu yang sama pula, namun tidak ada tanda-tanda gadis itu. Hanya keheningan malam yang aku temui.

Keesokannya aku mengulangi hal yang sama, hal yang sama pula lah yang aku temui.

Begitu pula keesokannya. Dan keesokannya lagi. Aku mengulangi hal yang sama selama satu minggu ini tanpa hasil.

Sudah hampir aku menyerah. Malam itu, aku menyalahkan dewa atas segalanya.

"Kenapa kalian memberiku kehidupan yang tak layak ini? Kenapa hanya aku?!" Celaku ke arah altar kuil.

Ya, dewa itu pengecut, mereka mempermainkan hambanya. Sialnya aku berharap sesuatu yang besar kepada orang yang bahkan tidak ada.

Nafsu makanku yang dahulunya banyak, kini perlahan menghilang. Bahkan sesuap nasi pun tidak kuat berada di perutku.

Pekerjaanku berantakan, hidupku hancur, temanku menjauhiku. Bahkan orang tua ku tidak peduli. Kenapa aku baru menyadari ini semua?

Hari ke 14, aku menyusuri jalan yang sama. Masih berharap.

Takdirku, membawaku. Dia ada di sana, berjalan menyusuri jalan ini lagi. Menggunakan pakaian yang sama.

Tanpa pikir panjang, aku segera menyusulnya. Dia mengenakan masker putih di wajahnya. Tanganku memegang pundaknya, memintanya berhenti.

"Namaku Terufumi, tolong, katakan namamu," ucapku.

Awalnya, dia hanya terdiam.

"Apakah aku cantik?" Ucarnya, dengan kepala masih tertunduk ke bawah.

"Ya, ya, kau sangat cantik!"

Perlahan, kakinya berjalan mundur. Tangannya saling menggenggam di belakang punggungnya.

"Serius?" Aku mengangguk dengan cepat setelah dia bertanya.

Tangan kanannya meraih ujung masker yang ia kenakan. Saat itu, aku terperangah. Akhirnya, aku bisa tahu bagaimana wujud pujaan hatiku.

Pujaan hatiku, memiliki mulut yang sobek dari ujung ke ujung. Dari telinga kanannya, menuju telinga kiri. Gigi dan gusinya terlihat dengan jelas.

Matanya yang tadi tertutup, kini berlumuran darah. Siapa? Apa salahku dewa?

Dia mengajukan hal yang sama kembali.

"Apakah aku masih cantik?" Suaranya yang lembut, kini berubah serak.

Aku terdiam, tidak ada cara untuk menjawab. Kakiku terpaku di tempat aku berdiri.

Untuk kedua kalinya dia mengulang pertanyaan tadi. Hal yang sama masih terjadi, aku diam membeku.

Ketiga kalinya, pertanyaan itu dilontarkan. Aku masih membeku, bahkan saat dia membuka mulutku dengan gunting yang keluar dari kantung bajunya.

Aku tidak bisa merasakan pipiku. Dewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Haunted LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang