huit

1.9K 196 7
                                    

Charlotte masuk ke kamarnya dengan perasaan kesal. Wajahnya di tekuk, kakinya ia hentakkan. "Argh! Kenapa sih harus ada Anasthasia?!"

Margareth yang baru masuk ke kamar Charlotte, terheran melihat ekspresi kesal anak itu. "Ada apa dengan wajahmu?" tanya Margareth.

Perempuan yang usianya hampir menginjak kepala empat itu duduk di sebelah Charlotte. "Ayah menolak ajakan ku," jawab Charlotte lesu.

"Apa? Bagaimana bisa Yang Mulia menolak ajakanmu?" Margareth terkejut, tentu saja. Karena sejak dulu, Cloude tak pernah menolak ajakan Charlotte. Margareth tidak tahu saja kalau saat itu Cloude melakukannya hanya untuk menghilangkan rasa bosan, juga mengalihkan pikirannya dari Diany dan Anasthasia. Selama ini, Margareth telah salah paham dengan sikap Cloude pada Charlotte.

"Dan aku baru saja melihat Anasthasia minum teh bersama ayah di taman." Charlotte mengabaikan pertanyaan Margareth, dan menceritakan apa yang baru saja ia lihat.

"Jadi Yang Mulia menolakmu karena Putri Anasthasia?" Margareth langsung mengerti hanya dengan cerita singkat Charlotte. Perempuan itu kini sama kesalnya dengan Charlotte.

"Aku mengajak ayah minun teh besok, tapi lagi-lagi ayah tidak bisa karena sudah memiliki janji dengan Anasthasia." Charlotte kembali buka suara.

"Janji apa itu?"

"Mereka akan naik perahu di danau Istana."

"Yang Mulia tidak mengajakmu?"

Charlotte menggeleng lemah. "Tidak."

"Kalau kita terus membiarkannya, Putri Anasthasia akan mengambil tahtamu," ucap Margareth.

Charlotte menghela napasnya perlahan. Ekspresi kesalnya hilang berganti dengan ekspresi lelah. Charlotte menyandarkannya punggungnya pada sandaran sofa, kepalanya menoleh ke arah jendela. "Sudahlah Bibi, aku lelah," ujarnya dengan suara pelan.

"Kau bilang apa?"

"Aku lelah, Bibi."

"Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu?"

"Biarlah Anasthasia yang menjadi Putri Mahkota suatu saat nanti, karena itu memang haknya."

"Charlotte!" Margareth membentaknya. Charlotte tak terkejut sama sekali, seolah sudah biasa menedengar suara lantang Margareth.

"Kau pun mempunyai hak di sini. Aku ingatkan kalau kau adalah Putri sulung dari kerajaan Safire. Semua rakyat kerajaan ini tahu hal itu." Margareth berkata dengan serius.

"Walau begitu... kenyataan aku hanya orang luar yang beruntung bisa berada di sini." Charlotte berkata dengan lirih.

"Kemana semangatmu yang ingin merebut simpati Yang Mulia?"

"Hilang."

"Secepat itu?" Margareth menatap Charlotte dengan tatapan tak percaya.

"Jangan bercanda Charlotte!"

"Mendiang Permaisuri pasti sedih melihatmu seperti ini." Suara Margareth memelan.

"Jangan ingatkan aku dengan ibu," Charlotte berkata dengan sinis.

Margareth menghela napas kasar. "Aku benar-benar tak habis pikir kenapa kau seperti ini. Hanya karena Putri Anasthasia melangkah sedikit lebih maju darimu, semangat di dalam dirimu langsung redup."

Gadis itu terdiam, tak berniat meladeni ucapan Margareth. "Bibi tidak pulang?" tanya Charlotte.

"Sepertinya malam ini aku akan menemanimu disini," jawabnya.

"Bagaimana dengan Vela?"

"Anak itu sudah bukan anak kecil lagi."

"Tapi tetap saja, Vela masih membutuhkan Bibi. Selama ini Bibi terlalu fokus padaku sampai mengabaikan putri Bibi sendiri."

I Became a PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang