dix-sept

1.2K 134 2
                                    

Setelah berbicara dengan Cloude tentang ia yang ingin belajar sihir, Anasthasia merasa lega. Ia sangat yakin, karena kali ini Lucas tidak akan bisa menolak. Raja yang memintanya langsung menjadi guru, apa mungkin Lucas akan menolak? Kalau iya, apa jadinya penyihir kecil itu di tangan Cloude. Anasthasia merinding saat membayangkan ekspektasi berlebihan di kepalanya.

"Akhirnya gue bakal belajar sihir, hohoho," gumamnya.

Ia berjalan dengan riang, senandung kecil keluar dari bibir ranumnya. Gaunnya menari-nari menyibak angin di sekitarnya. Gadis itu tersenyum cerah, begitu menyilaukan. Beberapa pelayan dan kesatria yang lewat terpesona oleh sosoknya.

"Aku seperti melihat bunga di sekeliling Tuan Putri," bisik pelayan itu.

"Hal baik pasti telah terjadi," kata pelayan lainnya.

"Anakku sangat mengidolakan Tuan Putri Anasthasia karena ceritaku. Aku jadi ingin meminta tanda tangannya untuk anakku," ungkap kesatria berambut hitam.

"Kau pasti tidak sayang dengan pekerjaanmu," celetuk kesatria berambut coklat.

Anasthasia melewati mereka sambil menebar senyum hangatnya. Para pelayan dan kesatria itu terkesiap begitu melihatnya.

Gue lagi seneng karena akhirnya Lucas kalah, hahahaha. Kayaknya malem ini gue bakal tidur lebih nyenyak dari biasanya.

...

"Anda terlihat berbeda, apa ada hal baik yang terjadi?" tanya Lili seraya menyisir rambut pirang yang bak emas.

"Terlihat jelas, ya?"

"Semua orang bisa tahu hanya dengan sekali lihat Tuan Putri," jawabnya. Lili tersenyum hangat.

"Aku senang karena sebentar lagi aku akan belajar sihir."

Lili menatap pantulan wajah Anasthasia di cermin. "Anda terlihat sangat antusias," ucapnya.

"Tentu saja. Soalnya kali ini aku akan belajar sihir lho, bukan duduk berjam-jam sambil membaca buku dan menulis," ungkapnya dengan semangat. Tanpa sadar Anasthasia mengeluh. Lili tersenyum maklum, sedangkan gadis itu tampak tersadar beberapa saat setelahnya, ia refleks menutup mulutnya.

"Anda pasti sangat kelelahan selama ini," lirih Lili.

Semua orang kagum dengan kecerdasan Anasthasia. Gadis itu lebih superior dibanding anak lainnya bahkan kakaknya sendiri, Charlotte. Kendati demikian ada beberapa orang yang merasa kasihan ketika mengingat betapa kerasnya ia belajar untuk mencapai titik tertinggi.

Anasthasia ibarat anak SD yang mempelajari pelajaran perkuliahan. Mungkin sedikit berlebihan dalam menggambarkannya, tapi begitulah dirinya. Dengan kemampuan otaknya, ia mampu menguasai pelajaran yang sulit di mata orang dewasa.

"Kau bilang sesuatu Lili?" Anasthasia mendongak menatap Lili.

"Ah itu... semoga anda selalu bahagia Tuan Putri," jawabnya. Lili tersenyum untuk menutupi kebohongannya.

"Lili kau aneh," ungkapnya. Gadis itu menatap pantulan dirinya dengan seksama.

Anasthasia kalau udah remaja pasti bakal cantik banget. Ah gile, gue jadi inspektur—eh insekyur.

"Kau kan tahu aku ini selalu bahagia setiap harinya," ocehnya.

"Tapi sepertinya kali ini anda jauh lebih bahagia."

"Itu karena aku akhirnya bisa menggunakan energi ini," tuturnya. Anasthasia menatap telapak tangannya lalu mengepalkannya dengan kuat. Terdapat tekad kuat saat ia mengepalkan tangannya, tekad yang tidak akan ia lepaskan begitu saja.

I Became a PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang