"Ma?"
Ratih menoleh, menatap putrinya dengan senyum hangat yang menghiasi wajah cantiknya. "Kenapa?"
"Aku mau tanya sesuatu, boleh?"
"Boleh, dong."
Arsya menghela nafas pelan, dan mengalihkan pandangannya ke arah tanaman-tanaman cantik milik mamanya. Sore ini, Arsya mengajak Ratih untuk bicara berdua. Dan berakhirlah mereka, duduk di gazebo yang ada di halaman belakang rumahnya, yang berhadapan dengan kolam renang, dan taman bunga.
"Mama kenapa cerai sama papa?"
Wajah Ratih nampak menegang. Setelah 17 tahun perceraiannya dengan mantan suami, baru kali ini Arsya menanyakan alasan kedua orang tuanya itu bercerai.
"Aku mau tau. Umur aku udah cukup kan, buat tau semuanya?"
Ratih menghembuskan nafas pelan. "Mama sama papa kamu sudah tidak ada kecocokan lagi."
Arsya tersenyum sinis. "Semua orang yang gagal dalam rumah tangga, pasti akan mengatakan seperti itu. Lantas, apa itu bisa dijadikan alasan untuk mereka mengakhiri sebuah hubungan yang sakral?"
"Sya ..."
"Kasih Arsya alasan yang logis, ma. Sudah cukup, 17 tahun ini Arsya berpura-pura tidak mengerti akan semua yang terjadi."
Ratih menatap Arsya dari samping. Sedari tadi, putrinya itu enggan menoleh padanya. Kedua matanya tampak merah dan berkaca-kaca.
"Mama sama papa kamu berpisah, karna kami tidak ingin saling menyakiti. Kami tidak bisa bersama lagi."
Arsya menahan air matanya yang akan jatuh. Senyum sinis yang menyimpan kepedihan, menghiasi wajah mendungnya. "Bukan kalian yang saling menyakiti. Tapi mama. Mama yang akan selalu menyakiti papa, kalau kalian tetap bersama."
Ratih terkejut mendengar penuturan Arsya. Tapi ia memilih diam, saat Arsya akan melanjutkan kalimat berikutnya.
"Mama selingkuh."
Ratih membulatkan matanya. "Arsya ... kamu—"
"Iya, aku tau."
"Aku gak ngerti apa yang ada didalam pikiran mama." Arsya menatap pohon mangga yang selalu ia panjati. Tatapannya kosong dan memancarkan kesedihan yang amat sangat mendalam.
"Papa salah apa sih, ma?" bisik Arsya bersamaan dengan air mata yang sedari tadi ia tahan, jatuh melewati kedua pipi tirusnya. Arsya selalu lemah jika membahas papanya.
"Papa cinta banget sama mama. Papa bahkan selalu nangis, saat mama sakit. Tapi saat papa sakit, mama selalu marah-marah sama papa karna merepotkan mama. Papa selalu menuruti apa yang mama inginkan. Papa selalu mengusahakan kebahagiaan kita, tanpa memikirkan kebahagiaan papa sendiri." Arsya mengusap air matanya. Hatinya sakit saat mengingat kehidupannya dulu.
"Mama selalu menuntut papa untuk kerja dan kerja, meskipun mama tau, kalau papa lagi sakit. Papa gak marah, ataupun dendam sama mama. Ditengah-tengah kehidupan kita yang serba kekurangan, papa selalu mengusahakan kehidupan yang layak untuk kita. Papa menjalani semuanya dengan ikhlas. Tapi kayaknya itu masih kurang dimata mama."
Ratih dan Surya terlahir dari keluarga yang sederhana. Dulu, Surya hanyalah seorang karyawan biasa di pabrik tempatnya bekerja. Sedangkan Ratih, ia hanya ibu rumah tangga. Ekonomi keluarganya semakin sulit, saat Arsya menginjak umur 5 tahun, dimana anak seusianya sudah harus memasuki bangku Taman Kanak-Kanak.
"Apa karna Ayah Reno kaya, makanya mama memilih masa lalu mama itu, daripada papa?" Arsya menatap tepat dikedua mata mamanya, dengan tatapan terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [PROSES REVISI] Kamu tau, kenapa penyesalan selalu datang di akhir dari suatu keadaan? Karna ia ingin kamu menyadari, betapa berartinya setiap waktu dan moment yang kita miliki. Hargai semua itu, sebelum penyesalan menyadarkan...