Arsya duduk di atas sofa yang ada dibalkonnya, dengan tatapan kosong. Sudah 3 hari dari kejadian kemarin, Arsya masih belum ingin keluar dari kamarnya. Setiap hari, pintu kamarnya selalu diketuk dengan nada permohonan, agar ia membuka pintunya. Tapi Arsya tak berniat menyentuh pintu kamarnya. Yang dia lakukan hanya berdiam diri, mandi, salat, dan berdiam diri lagi. Tubuhnya yang kurus, semakin kurus.
Setetes air mata turun dari sudut mata indahnya. Sungguh, hidup dibawah tekanan adalah neraka dunia. Ia ingin menjadi gadis yang normal. Dia tidak ingin memiliki rasa trauma akan apapun, dan depressi berat seperti ini.
Arsya berjalan masuk ke kamarnya, dan menjatuhkan barang-barang yang ada didekatnya. Ia melangkah ke depan meja riasnya, dan berkaca di sana. Bibirnya pucat dan kering, matanya sembab, kantong matanya besar dan hitam.
Arsya menangis dengan tersedu-sedu. Tangan kanannya melemparkan botol parfum ke kaca, membuat kaca riasnya pecah berkeping-keping.
Arsya duduk di atas ranjangnya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Bisikkan-bisikkan itu tidak berhenti berdengung dikepalanya. Arsya menarik laci nakasnya, dan menemukan obat depresan, serta ... pisau buah.
Pikirannya yang kacau, membuatnya tak bisa berifkir jernih. Ia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tangan kanannya yang bergetar, meraih pisau buah itu.
Tok Tok Tok.
"Arsya buka pintunya!"
Arsya melirik pintu kamarnya yang tertutup rapat. Ia hafal dengan suara itu. Suara milik Beny yang terdengar panik.
"Arsya jangan melakukan yang tidak-tidak!"
Arsya berjalan mendekati pintu, dan bersandar dibalik pintu kamarnya. "Gue gak kenapa-kenapa, bang. Gue baru selesai mandi, mau ganti baju dulu."
Gebrakan pintu yang tadinya dipukul secara brutal, tiba-tiba menjadi hening saat suara Arsya ditangkap indra pendengaran Beny. Suara lemah dan halus, seperti bisikan.
"Oke, abang tunggu disini, ya?"
"Terserah."
Setelah itu, Arsya berjalan ke arah balkon. Ia menatap figura yang berisikan foto dirinya dengan kedua orang tuanya. Arsya tersenyum menatap wajah papanya dan dirinya yang tertawa lepas.
"Maafin mama ya, pa."
"Maafin Arsya. Arsya sayang papa."
Pisau buah membelah kulit serta daging tangan kiri Arsya. Darah mengucur dengan deras. Arsya meneteskan air matanya kembali. Kenangan, sedikit kebahagiaan yang ia punya dimasa kecil, membuat dia terkekeh pelan ditengah isakkan tangisnya.
"Arsya? Sudah belum?"
Suara Beny kembali terdengar, kala Arsya belum juga membukakan pintunya.
Beny yang ada di depan pintu kamar Arsya pun berdecak kesal. "Arsya!"
"Udahlah bang, dobrak aja!" Titah Nana yang sudah kesal dengan sikap abangnya yang bertele-tele.
"Pintunya keras! Enteng banget lo kalo ngomong!"
"Ck. Lemah." Decak Nana kesal. Lalu tatapannya beralih pada Bi Darmi yang ada dibelakangnya. "Ada kunci cadangan gak, bi?"
"Gak ada, mbak. Yang punya cuma Non Arsya."
"Rumah segede gini, kunci kamar aja gak ada duplikat. Miskin banget sih!" gerutu Nana kesal. Nyawa sahabatnya terancam didalam, tapi tidak ada satupun keluarganya di sini yang peduli.
"Udah bang, dobrak aja. Gue yakin lo bisa! Gue bantu do'a!"
"Iya-iya!"
Percobaan pertama tidak berhasil. Beny justru mendapatkan rasa ngilu dilengan atas tangannya. Percobaan kedua juga sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET [END]
Fiksi Umum[PART MASIH LENGKAP] [PROSES REVISI] Kamu tau, kenapa penyesalan selalu datang di akhir dari suatu keadaan? Karna ia ingin kamu menyadari, betapa berartinya setiap waktu dan moment yang kita miliki. Hargai semua itu, sebelum penyesalan menyadarkan...