Author's POV
Laura melihat Revan dan Pangeran berjalan dengan perlahan menuju lapangan di sebelah musholla yang dekat dengan parkiran dan sudah sepi.
Laura dengan tertatih mengikuti mereka berdua dan berusaha tidak menghasilkan suara dari tongkatnya.
Revan dan Pangeran menatap satu sama lain dalam diam untuk beberapa menit.
Kemudia Revan membuka suara untuk pertama kali sejak pertemuan mereka di depan sekolah.
"Lo udah ngejauhin Laura?" tembak Revan langsung dan Laura yang mendengarnya itupun sangat terkejut.
"Udah, seperti yang lo suruh. Gue udah ngejauhin dia. Gue bahkan punya pacar baru buat ngejauhin gue dari dia, puas lo?" sahut Pangeran yang membuat Laura tambah kaget lagi.
"Belum, soalnya dia masih mikirin lo. Lo harus mikirin cara supaya Laura cuma mikirin gue dan dirinya sendiri. Bikin Laura benci sama lo!" Pangeran yang mendengar permintaan tak masuk akal Revan langsung terbelalak kaget dan tak terima.
Pangeran marah karena Revan meminta Pangeran untuk membuat Laura benci padanya.
"Apa..." Belum sempat Pangeran berkata-kata. Sebuah suara menginterupsinya.
"Heh om-om tua! Gue gak nyangka ya, lo seposesif itu sama gue yang notabennya cuma masih deket. Dah gila apa ya lo? Nyuruh temen gue, yang udah dari lama temenan sama gue buat ngejauh? Ada pikiran lo?" teriak Laura dengan kencang menyakiti tenggorokannya.
Pangeran yang kaget karena serobotan Laura hanya dapat menatapnya terkejut. Terlebih lagi Revan yang kaget setengah mati dengan cacian Laura padanya.
Laura tiba-tiba menarik Pangeran ke arahnya dan menatap Revan yang meminta Pangeran untuk menjauh dari Laura.
"Lo pasti belom tau rasanya gak punya temen kan, Revan." Ucap Laura sengit. Revan mengalihkan pandangannya menuju Laura.
"Lo pasti belom pernah ngerasain, gimana rasanya jadi yang bersalah terus-menerus." Laura terlihat sangat sedih mengingat semua kenangannya saat bersekolah yang menyedihkan.
"Lo pasti belom ngerasain, dimana semua orang nganggep lo tinggi tanpa mereka tau bahwa lo tu ada di dasar jurang!" Laura mulai mengeluarkan semua unek-uneknya yang sempat di tahan.
"Lo pasti belom ngerasain gimana jadi gue yang punya temen cuma satu, dan dengan bajingannya lo suruh dia ngejauh!" teriak Laura sambil menangis. Tak menyangka orang yang dia sangka baik ternyata biang dari segala kesusahannya beberapa hari kebelakangan ini.
"Gak gitu, Laura..." Revan benar-benar tidak bisa berkata-kata melihat Laura yang menangis tersedu.
Laura kemudian menatap ke arah Pangeran dengan tajam juga.
"Lo kan tau, kalo temen gue cuma lo doang!" teriak Laura pada Pangeran yang memejamkan matanya takut.
Gentle-gentle gitu, Pangeran takut banget amukan Laura. Makanya dari tadi dia menghindar terus.
"Lo dengan begonya ngikutin semua omongan orang, yang gue aja baru kenal beberapa bulan sama dia. Sedangkan lo kenal gue udah dari lama banget, Pang!" Laura tak percaya mengapa Pangeran begitu bodoh mengikuti ucapan Revan dengan mudahnya.
"Lo ngejauh justru ngebuat gue makin sakit, gue gak masalah sama semua gundik-gundik lo yang nyebelin." Laura menggunakan semua kata-kata itu dalam satu napas.
"Gue gak masalah, jadi musuh semua cewe karena elo. Gue gak masalah kalo temen gue yang lain nganggep gue ini sombong atau mereka mau temenan sama gue karena gue ini terkenal aja. Gue sama sekali gak masalah, Pangeran." Laura meneteskan air matanya lagi di depan Pangeran yang menatapnya dalam diam.
"Setidaknya gue ada lo yang tulus temenan sama gue, tanpa ngeliat kelebihan gue. Gak ilfil sama kekurangan gue. Gue jadi apa-adanya bukan ada-apanya. Please Pangeran, kemana otak lo disaat kaya gini?" tanya Laura pada Pangeran yang masih terdiam.
"Kemana lo saat gue ngerasa ini kaki mau copot? Kemana lo saat gue kira lo bakal ngehibur gue di rumah sakit atau di rumah? Kemana lo saat gue kira lo bakal ngajakin gue main pake kursi roda?" Laura memberi jeda sedikit.
"Lo ga ada, Pangeran. Lo ilang, karena ucapan Revan yang gue gatau apa itu. Tapi lo, lo juga bangsat sama kaya dia." Pangeran menunduk menyesal. Menyesal kenapa dia meminta pertemuan mereka kali ini di sekolah saja karena dia malas untuk pergi tempat lain.
Menyesal karena Laura sekarang malah menangis. Padahal Pangeran ingin Laura tetap tertawa dan melupakannya.
Tapi bukan membencinya, karena Pangeran tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Laura membencinya.
Mereka bertiga terdiam karena bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Terlebih lagi Revan yang tertangkap basah.
'Tingg'
Notifikasi pada handphone Laura menyala. Pertanda bahwa Andrico sudah sampai di depan koridor sekolahnya.
Laura pergi dari hadapan mereka berdua. Namun sebelum ia pergi, beberapa kata akan ia sampaikan kepada kedua lelaki kerdus ini.
"Untuk Revan, sorry. Gue udah kehilangan respect sama lo. Kedepannya, jangan sok tahu soal kehidupan gue. Makasih, lo udah baik sebenernya."
"Untuk lo, Pangeran. Jujur gue kecewa. Tapi karena lo ngejauh dari gue, gue nemu temen baru. Sekarang terserah lo mau gimana, gue kecewa banget sama lo." Ucap Laura dan segera pergi dari sana untuk pulang.
***
'Bughh'
"Kamu abis nangis, Ra?" tanya Andrico melihat hidung Laura yang memerah.
"Iya. Sekretaris baru papa bajingan banget." Laura tak sadar mengucapkannya. Andrico membulatkan matanya karena ucapan Laura.
Meskipun demikian, Andrico hanya diam saja tak mau memarahi Laura yang sedang mengalami hari yang buruk.
"Mau es krim?" tanya Andrico pada Laura yang diam.
Laura mengangguk dan mereka pun melanjutkan perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Papa
HumorBerkisah tentang seorang gadis yang selalu di kejar dengan semua perempuan yang menyukai Papanya. Memiliki keluarga yang sedikit berantakan, namun tak membuatnya menjadi kesepian. Justru semakin ramai karena perubahan yang terjadi karena Papanya. ...