11. Bertemu Dengan Emili

7.3K 1.6K 524
                                    

"Gue mau pergi ke kafe kue yang baru buka sama Nabila, lo nggak usah ikut-ikutan." Diana menunjuk Gio mengingatkan. Belakangan ini Gio terlalu melekat padanya, seperti prangko dengan lem paling lengket di dunia. 

Nabila mulai mengeluh.

Di masa lalu, Diana akan sesekali meluangkan waktu untuk hangout dengan Diana. Tapi belakangan ini Diana hanya sibuk merawat pacar psikonya. Nabila jelas mulai marah. Apa lagi setiap hari dia harus melihat Gio dan Diana bermesraan padanya dirinya sendiri masih jomlo tulen sampai sekarang.

Gio memasang ekspresi dingin lalu menjawab, "Siapa yang menurut lo lebih penting? Gue atau Nabila?"

Diana memelototi Gio dan berkata, "Yakin lo mau denger jawabannya?"

Mendengar itu, Gio sangat marah. Kalau sosok yang berani memancing emosinya bukan Diana tapi orang lain, Gio pasti sudah menampar orang itu karena terus menantang garis batasnya. Tapi pada Diana, yang bisa langsung terbang hanya dengan satu kali ditampar, Gio tidak berani.

Dia juga tidak tahan untuk melakukannya.

Kulit Diana sangat rapuh dan tipis. Dicengkeram kuat saja bisa meninggalkan bekas beberapa hari, apa lagi ditampar.

"Lagian lo nggak suka makan kue juga, kan? Gue mau jalan sama Nabila. Lo jangan ikut, kalo lo ikut, nanti Nabila nggak enak." Diana menurunkan suaranya. Nadanya penuh keluhan, "Nabila temen gue satu-satunya, kalo dia benci sama gue gara-gara lo gimana?"

"Hajar aja."

"Pale lo yang gue hajar!"

Gio akhirnya menghela napas berat dan setuju, "Oke, tapi jangan keluyuran terlalu lama, sadar diri badan lo penyakitan."

"Gue nggak sepenyakitan itu. Gue baik-baik aja kok, malahan walau ujan-ujanan, gue nggak bakalan jatuh sakit."

Lalu Diana teringat saat dia menunggu Glenn di Dufan beberapa bulan lalu, hanya 2 jam saja sudah cukup untuk membuat Diana dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Memori itu masih menjadi duri di hati Gio. Hanya dengan mengingatnya, Gio tahu seberharga apa peran Glenn dalam hidup kekasihnya. Gio tidak senang, dia ingin memonopoli Diana, entah itu masa lalu atau masa depannya.

Gio tidak mau Diana mengingat orang lain.

Gio bersenandung, "Kalian mau pergi ke kafe mana? Biar gue anter."

"Gue bisa naik angkot."

"Panas." 

"Gue bisa naik bus. Kalo bus kan ada AC."

"Nanti lo dilecehin lagi."

Pada akhirnya Diana tidak bisa memberi alasan. Dia setuju, "Tapi lo langsung pergi, oke?" Diana memelas. Bukan dia tidak senang menghabiskan waktu dengan pacarnya, tapi sahabatnya juga membutuhkan dia. Sesekali mereka ingin menikmati metime berdua.

"Oke." Gio setuju, "Tapi kalo kalian udah selesai, telepon gue, biar gue yang jemput lo pulang. Jangan naik kendaraan umum. Nggak aman."

Diana tersenyum lebar sambil memeluk lengan Gio. Gio jauh lebih mudah diajak bicara sekarang, kan? Dia juga mencoba untuk memahami Diana, menekan egonya sendiri hanya demi membuat pacarnya senang.

Gio tersenyum samar, mengusap kepala Diana pelan, merasakan rambut halus dan harumnya.

Bel pulang sudah berdering sejak 10 menit lalu. Diana sedang mengobrol dengan Gio di depan kelas, lalu kembali ke kelas setelah mendengar persetujuan Gio. Melihat Nabila yang masih piket.

"Nab, kita bisa pergi hari ini, nanti Gio anter kita ke kafe tapi dia langsung pergi."

"Okee~" Nabila sedang menghapus papan tulis, tersenyum riang.

CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang