12. Kekhawatiran

2.9K 410 39
                                    

Sejujurnya semua orang terkejut melihat kedatangan Fandi yang tiba-tiba. Cowok ini bahkan menginterupsi dan tidak merasa malu ikut campur terhadap konflik sesama cewek seperti sekarang. Fandy mencengkeram tangan Emili erat, Emili memelototinya, dia mencoba menarik tangannya kembali tapi Fandi tidak mau melepaskannya. 

"Lepasin gue, lo cowok anjing!" Marah Emili kasar. Diana tercengang, bahkan walau dia sudah mendengar dari Gio tentang Emili yang mulutnya seperti comberan, tidak jauh berbeda dari Gio sendiri, dia terkejut Emili berani mengumpat sekasar itu pada cowok yang belum pernah dia temui.

Pupil Fandi menyipit, cowok itu mengukir senyuman kecil sambil menjawab, "Oke deh, Jing."

Dia melepaskan Emili, tapi semua orang bisa melihat lebam kebiruan dan sedikit bengkak di pergelangan cewek itu. 

"Lo ... beraninya kasar sama cewek." Temannya Emili juga kaget melihat bagaimana Emili diperlakukan.

"Sori, gue termasuk orang yang ngedukung kaum feminis, mendukung kesetaraan gender, jadi cowok atau cewek kalo bikin jengkel hantam aja."

"Dasar nggak tau malu!"

"Emang." Fandi tertawa, bibirnya mengukir senyuman dingin dan mengimbuhkan, "jadi hati-hati sama mulut lo. Gue nggak sekalem kelihatannya loh. Iya, nggak, Yang?" Fandi langsung berkedip genit pada Nabila.

"Pale lo peyang, ngapain lo di sini?" Nabila sama sekali tidak berterima kasih karena Fandi tiba-tiba muncul dan membelanya, dia justru merasa curiga. Fandi bukan tipe orang yang suka makan-makanan manis kecuali gratis. Cowok ini lebih senang menghabiskan waktu luangnya nongkrong di warung sambil merokok.

"Kangen sama Yayang Nabila dong."

"Najis."

"Udah, Nab. Ayo duduk dulu, makan dulu." Diana membujuk Nabila. Lalu tatapannya beralih pada Emili yang terlihat sangat membenci Fandi tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Emili memiliki kemampuan beladiri yang baik, dia bahkan tidak pernah ragu berkelahi dan adu tinju dengan Gio, jadi kurang lebih dia bisa menghitung jika berkelahi dengan cowok berengsek di depannya, kemungkinan dia akan kalah. Jadi dia tidak berani memperpanjang masalah.

Walau selalu bersikap gila dan meledak di depan Gio, Emili seolah tahu tidak peduli sebenci apa pun Gio padanya, Gio masih akan sesekali menahan diri mengingat wajah neneknya. Tapi Fandi berbeda. Jika cowok ini bermaksud untuk 'menghitungnya', Emili akan kalah terlalu parah.

Jadi dia hanya memperingati Diana kejam, "Denger ya, Diana, lo itu lacur, jangan karena Gio baik sama lo sekarang, bucin sama lo, lo mikir dia sepenuhnya serius sama lo. Lo itu nggak lebih dari objek murahan, kalo Gio udah bosen, ujung-ujungnya lo masih ditinggal."

"Seenggaknya gue masih sempet dapetin dia, hahaha. Daripada lo, jadi tunangan tapi nggak pernah dianggep. Ngejar-ngejar Gio kayak nggak punya harga diri."

Emili sangat marah, dia ingin maju dan memukuli Diana sampai mati. Tapi sekuriti di restoran sudah menariknya mundur, memperingatkannya untuk tidak membuat masalah lagi.

"Tunggu aja lo nanti!" Tunjuk Emili sebelum diseret pergi.

Diana menghela napas tanpa daya, dunia begitu kecil bahkan di tempat seperti kafe saja ... dia bisa bertemu dengan seseorang yang begitu membencinya.

—-

"Jadi .... Kenapa dia justru duduk sama kita? Lagian ngapain lo mesti traktir dia sih, Di?" Nabila menggerutu kesal. Niatnya, dia dan Diana hanya akan nongkrong berdua saja. Modal Nabila sudah jelek karena gangguan Emili beberapa menit lalu, sekarang Fandi justru ikut bersama mereka. Duduk di depan Nabila memakan dengan nikmat kue traktiran dari Diana.

"Nggak apa-apa, sesekali aja." Diana tersenyum pada Fandi, "Gio yang nyuruh lo dateng, kan?"

"Ho oh." Fandi menjawab terus terang. "Si Bos mendadak ada urusan mendadak, jadi dia minta tolong gue jagain lo. Katanya takut lo diculik orang."

Gio benar-benar paranoid. Dia merasa tidak nyaman setiap kali membiarkan Diana berpergian sendirian. Terutama tanpa pengawasan keluarga atau dirinya sendiri, Gio dihantui ketakutan kalau Diana akan tersakiti atau meninggalkannya.

Gio merasa tidak aman, mungkin di alam bawah sadarnya ... dia masih merasa Diana belum benar-benar jatuh cinta padanya. Hubungan mereka hanya sekadar kompromi Diana agar Gio tidak menyakiti diri sendiri lagi.

"Gio ini terlalu posesif, kalo gue jadi lo ... gue mungkin nggak bisa bertahan lama." Nabila menyesap minumannya perlahan, mengimbuhkan, "ini bukan cinta lagi, ini udah macam obsesi, lo nggak ngerasa serem apa?"

"Kalo gue sih nggak posesif, Yang. Selama kita saling setia dan pengertian, gue bakalan ngasih lo banyak ruang dan kebebasan." Fandi berkomentar.

"Siapa juga yang mau jadi cewek lo?" Nabila memelototinya. "Macem di dunia ini nggak ada cowok lain aja."

"Cowok lain emang banyak, tapi Fandi cuma satu-satunya, limited edition."

"Cuih!"

Diana dan Fandi tertawa. Diana tidak pernah mengerti kenapa Nabila begitu membenci Fandi seolah Fandi sudah membunuh seluruh anggota keluarganya saja? Bagi Diana, walau usil, sebenarnya Fandi memiliki beberapa sisi baik juga.

Dia tipe orang yang setia kawan. Dia kejam tapi dia tidak pernah malak atau merampok. Bisa dibilang , Fandi ini sebenarnya bajingan yang berprinsip.

Ponsel Diana berdering.

Saat Diana melihat nama Gio di layar, bibirnya tidak bisa menahan senyum. Namun saat Diana akan mengangkat telepon, Nabila berseru terkejut.

Dia bergegas mengambil tisu dan berdiri, "Di, lo mimisan!"

***

Diana : Dokter, saya mimisan. Kira-kira saya sakit apa, ya?

Dokter : nggak banyak.

Diana : nggak banyak?

Dokter : gerd, asma, jantung lemah, anemia. Nggak banyak.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang