Bab 8 | Tuduhan

76 10 0
                                    

“TOLONG!!”

Reflek dua bersaudara itu berlari menuju sumber suara. Kamar utama yang sebelumnya ditempati kedua orang tuanya, tetapi saat ini pintu bercat putih itu terbuka, keluarlah sang duri rumah tangga dengan rambut acak-acakan dan wajah tak karuan.

“Minggir!”

Viona mendorong Leora dan Liara yang menghalangi jalannya begitu saja. Wanita itu berlari kalang kabut dengan raut ketakutan, sembari berusaha menghubungi seseorang, mungkin Rehan.

Leora dan Liara saling pandang dengan penasaran.

“Kenapa tuh nenek lampir?” tanya Leora dengan acuh tak acuh.

Mendapati gelengan serta wajah lugu sang kakak, Leora menghela napas. Lantaran penasaran, gadis itu pun melangkah masuk ke kamar milik orang tuanya.

“Jangan, Le!” Liara mencekal pergelangan Leora.

“Awas, Li. Gue cuma penasaran, apa yang bikin si lampir kaya abis ngeliat malaikat maut.”

“T-tapi, nanti kalo ketahuan Papa–”

Tak menunggu Liara menyelesaikan ucapannya, Leora langsung nyelonong masuk ke kamar bernuansa monokrom tersebut. Buru-buru Liara menyusul saudarinya.

Lepas meneliti tiap sudut kamar untuk mencari penyebab Viona ketakutan, mata Leora terhenti pada pintu kamar mandi dalam ruangan itu. Perlahan kakinya melangkah, hendak membuka pintu tersebut.

What the f**k?!

Gadis berambut pendek itu berjengkit dengan mata melotot pada kaca kamar mandi yang dipenuhi coretan merah, terdapat berbagai kalimat mengerikan penuh ancaman di sana.

Pelacur.

Perebut suami orang.

Mati saja sialan.

Pendosa.

Perusak.

Hama.

Pembawa sial.

Pembunuh.

Tunggu giliranmu.

Leora menatap tak percaya pada kalimat-kalimat itu. Sejenak gadis itu melirik kantung plastik yang dibawanya sejak tadi.

“Sia-sia gue nyiapin petasan ini,” lirihnya dengan raut kecewa.

Tadinya, niat Leora ingin menyalakan petasan-petasan yang dibawanya untuk mengerjai Viona di kamar wanita itu, syukur-syukur bisa sekalian membakar wanita tersebut. Namun, seseorang lebih dulu membuat sang target terkena mental.

Itu cukup membuat batin Leora sedikit puas, meski rasanya kalimat-kalimat di atas sedikit kejam dan janggal, tetapi selagi diajukan untuk Viona, Leora tak ambil pusing.

“Tapi siapa yang nulis ginian? Di rumah ini cuma ada lo sama gue. Nggak mungkin lo, kan, Li? Lo kan cemen.”

Liara meringis kaku mendengar lontaran fakta dari Leora barusan tentang kelemahan dirinya. Lagi pula, tak ada tanda-tanda maling atau penyusup di dalam rumah ini selepas keduanya kembali dari sekolah.

GALEORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang