Esok paginya, Leora bangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Gesekan antara baju dan lukanya yang belum kering begitu terasa menyakitkan.
“Nggak usah berangkat kalo masih sakit, Le. Nanti biar aku kasih surat ke wali kelas kamu.”
Entah sudah kali keberapa Liara berkata demikian. Namun, sama sekali tak didengarkan oleh gadis berambut pendek yang saat ini sudah mengenakan seragam dengan rapi.
“Banyak omong lo. Ayo buruan berangkat, gue males ketemu duo titisan Dajjal itu.”
Tak menunggu balasan Liara, gadis berambut pendek tersebut langsung meraih tas dan melenggang keluar kamar. Nampaknya ia tak mempermasalahkan luka disebalik seragamnya yang belum mengering, dan tetap nekat berangkat sekolah. Seolah lupa dengan dirinya yang semalam hampir sekarat dibuat sang ayah.
Liara menghela napas dan mengikuti sang adik yang punggungnya sudah tak terlihat.
Entah kemana dua sejoli yang tengah puber kedua itu. Sepanjang manik Leora menelaah sudut rumah, tak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
“Eh, nggak sarapan dulu?” tanya Liara saat melihat Leora melewati meja makan begitu saja. Dirinya pun mengurungkan niat untuk menarik kursi.
“Nggak.”
Sesingkat jawaban Leora, demikian pula tubuhnya kembali menghilang tertelan pintu depan yang kemudian ditutup oleh sang empu.
***
Tiba di kelas yang masih sepi penghuni, Leora langsung merebahkan kepala di atas meja sembari menghela napas. Sejujurnya, luka di sekujur tubuhnya belum kering dan masih terasa sangat perih.“Ini semua gara-gara si biadap Rehan!” gerutunya.
Dalam otaknya tercetus ide untuk mengadukan perbuatan pria itu pada sang nenek. Mengingat wanita baya tersebut sangat menyayangi Leora, bukan tak mungkin beliau akan menampar wajah Rehan hingga memar.
Leora tertawa renyah membayangkan hal itu. Namun, akibat terlalu menghayati, ia tak sadar bahwa seseorang mengamatinya dari ambang pintu dengan alis bertaut, walau tampangnya tetap lempeng.
“Khem!”
Mendengar dehaman berat itu, sontak Leora menghentikan tawanya dan menoleh ke sumber suara. Sorot matanya mengikuti tiap gerakan pemuda yang saat ini berjalan ke bangku dan meletakan tas di sana, lalu duduk diam seolah tak menganggap adanya orang lain di kelas tersebut.
Bahkan ia tak berniat menegur Leora, atau sekadar tersenyum kecil sebagai tanda basa-basi. Asing dan hening, keduanya hanya terdiam karena memang tak sedekat itu untuk saling mengobrol akrab.
“Jupri, ntar jadi ke salon, kan? Terus sekalian juga beli skincare ke tempat biasa. Mumpung uang jajan gue udah kumpul mayan banyak, nih.”
“Jadi, Tata, Jupri juga mau beli lipbalm yang rasa stroberi, yang waktu itu Jupri tunjukin, loh.”
“Sip lah, ntar langs–etdah, Leora, udah sampe aja. Berangkat jam berapa lo?”
Tata dan Jefri yang sedari tadi bercakap-cakap sepanjang jalan menuju kelas, akhirnya bisa memecah keheningan yang terjadi di ruangan tersebut. Leora yang ditanya pun membalas seadanya.
“Gue juga baru nyampe.”
Dua gadis itu lanjut mengobrol, sedangkan Jefri sendiri sibuk mengamplas kukunya yang baru dipotong. Sampai Tata melemparkan candaan dan membuat Leora tertawa.
Mungkin karena merasa terganggu dengan tawa cempreng dua gadis itu, sosok pemuda yang sedari tadi duduk tenang di depan mereka, akhirnya memilih beranjak pergi ke luar kelas sembari satu tangannya memegang ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALEORA
Teen Fiction"Cowok kalo nggak brengsek ya homo." Tentang Leora yang tidak suka didominasi dalam hubungan asmara. Dalam pandangannya, penghianatan adalah salah satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Sosoknya yang keras kerap kali membuat lelaki segan mendekat...