Bab 6 | Insiden Taman Belakang

967 249 62
                                    

Hari pertama Leora di sekolah ini cukup melelahkan. Dia harus mengejar ketertinggalan materi serta beradaptasi dengan teman sekelasnya.

Di mana hal itu adalah yang paling tidak disukai oleh Leora yang malas bersosialisasi.

Waktu istirahat gadis itu dihabiskan untuk mengasingkan diri. Menjauh dari kerumunan dan kebisingan kantin.

Leora memilih berjalan mengelilingi sekolah sembari menghafal jalan. Sampai matanya terhenti pada sebuah bangku usang yang berkarat di dekat kolam ikan.

“Kumuh banget, padahal kalau dibersihin bakal enak buat nyantai.”

Leora memilih duduk di bangku usang tersebut. Mengeluarkan sebungkus roti dan air mineral, gadis itu mulai menyantap bekalnya dengan tenang.

“Enaknya gue apain ya si nenek lampir?” gumam Leora sembari menggigit roti di tangannya.

“Kalo gue usir, pasti bakal dibawa balik lagi sama si brengsek Rehan, ck!”

Bersamaan dengan decakan frustrasi Leora, terdengar suara percakapan dua orang pemuda yang tak jauh dari sana.

Gue nggak suka lo deket-deket cewek sok polos itu.”

Dia punya nama!

Cih, intinya gue nggak suka lo sama dia.”

Sontak membuat Leora celangak-celinguk. Jika bukan karena pembahasan mereka yang aneh dan ambigu, Leora tidak akan se-kepo ini.

Diam-diam gadis itu menguping tanpa sepengetahuan kedua pemuda yang belum diketahui rupanya.

“Linggar?” Leora bergumam saat melihat rupa salah satu pemuda itu.

Gadis itu mengingat dengan jelas salah satu pemuda yang kini tampak menahan emosi pada pemuda lainnya–yang diyakini Leora adalah Raka.

“Terserah lo, cok! Males gue lama-lama.”

Raka menyentak tangan Linggar yang bertengger di bahunya. Tenaga yang sama kuat, membuat Raka dengan mudah melepaskan diri kala Linggar sedikit lengah.

“Bangsat lo, Raka! Awas aja lo deket-deket cewek itu lagi!”

Linggar mengejar Raka yang kini mulai menjauh tanpa menoleh sedikitpun pada pemuda itu.

Dari tempat duduknya, Leora terpaku, masih mencerna kejadian barusan. Satu poin yang dapat disimpulkan otaknya dalam percakapan singkat penuh emosi tadi.

Untuk pertemanan sesama lelaki, melarang teman lelakinya berdekatan dengan seorang gadis, apalagi dengan marah-marah tanpa alasan jelas, bukannya sedikit aneh?

Satu kesimpulan lagi yang tercetus begitu saja di otak lunaknya.

“Cowok kalo nggak brengsek ya homo.”

Leora mendengkus dengan sudut bibir terangkat. Makin buruklah citra pejantan di matanya. Gadis itu melanjutkan makannya dengan raut tanpa ekspresi.

***

Setibanya di kelas, Leora sedikit melirik bangku Linggar dan Raka. Dua pemuda itu tampaknya masih perang dingin, sedingin mata Leora saat menatap keduanya.

“Leora, Leora! Tadi kenapa nggak ke kantin? Gue sama Tata nungguin tau, ih!”

Tak kalah menggelikan, suara Jefri yang lenjeh pun memasuki indra pendengaran Leora.

GALEORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang