#11. Hangat Simpul Kecil

73 19 10
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

























Suara jejak kaki yang berjalan kesana-kemari menyentuh lantai kayu membuat usik.














Jefri terbangun olehnya.


















"Mau kemana?"

Arunika menoleh padanya.

"Mengajar."

"Kamu seorang guru?"

Hawa itu terkekeh kecil membuat Jefri mengerutkan keningnya.

"Kenapa malah tertawa?"

Arunika berhenti. "Aku tidak tahu apakah pantas menyandang gelar itu." Lalu kembali melangkah.


















"Saya ikut."















Arunika menghentikan langkahnya yang baru sampai di ambang pintu.

"Tapi, kan-"

"Apa?"

"Kamu belum pulih."

Jefri bangkit. "Tapi saya bosan di sini terus."

Wanita itu berpikir sejenak, sebenarnya ia takut kalau pria itu tak sadarkan diri lagi bukan enggan mau menolong kembali tetapi tubuh kekar itu terlalu berat ia seret.

Namun juga kalau membiarkan di rumah kayu miliknya sama saja memenjarakan.

"Bagaimana?"

"Tentu saja. Tapi sebelumnya kamu tak dapat berpakaian seperti itu," ujar Arunika memandang si pria yang telanjang dada hanya terbalut perban.

























Seorang remaja tengah sibuk memotong kayu.

"Aji!"

Ia segera menghampiri.

"Eh, Mbak Ika. Ada apa?" tanyanya.

"Kamu punya kaus?"

"Punya."

"Bisa kamu pinjamkan kepada dia?" tunjuknya pada Jefri yang tengah memandang pepohonan.

"Bisa, tapi kayaknya pakai punya bapak."

"Kenapa?"

"Tubuh pria itu gagah sekali. Kalau pakai punya Aji bakal ketat seperti wanita di kota sana."

Arunika tertawa kecil.

"Yasudah tidak apa-apa."























Mereka berjalan menyusuri pasir menjauh dari tempat remaja bernama Aji bekerja.

"Maaf, ya. Kaus nya tidak memiliki merek seperti di kota."

Jefri meratapi tubuhnya yang kini sudah ditutupi oleh kaus berwarna putih polos.























"Selamat pagi! Mbak Ika," sapa anak-anak kecil yang duduk di atas daun pisang sebagai alasnya.

"Pagi! Adik-adik semua."

Wanita itu tersenyum manis sedang Jefri hanya diam memandang dari batang pohon yang tumbang sedang ia duduki.

"Mbak ika. Siapa laki-laki itu?" tanya seorang anak kecil perempuan.

"Oh? Dia? Dia-"

"Pacar Mbak, ya?" potong anak lain membuat gelak tawa semua yang hadir.

Arunika menggeleng namun juga ikut tertawa. Ia tak marah malah juga senang.

"Bukan kok, dia teman Mbak Ika. Namanya Jefri. Panggil saja Mas Jefri."

Anak-anak itu ber-oh ria lalu menatap ke arah si pria.

"Halo! Mas Jefri," sapa mereka semua.

Jefri yang diam lalu diberi isyarat oleh Arunika untuk membalas sapaan anak-anak.

"Hai," balasnya begitu dingin.

























"Ada yang tahu, jawaban dari sepuluh dikurangi empat?" tanya Arunika.

Para anak itu diam selagi berpikir.

"Hayo, berapa? Kalau tidak bakal Mbak tunjuk."

"Saya!"

"Berapa hasilnya, Awan?"

"SEBELAS!" jawab anak kecil bernama Awan dengan antusias.

"Yah, tapi jawaban yang benar itu enam."

Lagi-lagi para temannya menertawakan dan di lain sisi Jefri menyimpul senyum kecil.
Arunika melihat itu. Ia senang bahwa pria yang dipikir dingin selama dirawat punya senyum yang hangat.


 Ia senang bahwa pria yang dipikir dingin selama dirawat punya senyum yang hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang