#16. Remuk

106 19 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sudah lewat dari hari ke hari sejak kedatangannya untuk kembali ke Jakarta, padahal bukan keinginannya pula berpulang. Akan tetapi, masyarakat pesisir Pangkajene sendirilah yang telah mengusirnya secara halus dengan pemikiran yang masuk di akal. Namun, inilah yang seharusnya memang terjadi. Pria itu harus memperbaiki keadaan yang telah cerai-berai ini. Katakanlah, jika Tuhan sedang menghukumnya akan perlakuan bejatnya dahulu kala.

Lihatlah si mantan gagah kalau bukan lagi Jefri Hardiawan Pamungkas; wajahnya berjerawat tak terawat, rambutnya bak sarang burung dan pakaiannya lusuh. Sudah sama seperti para orang-orang yang ada di lampu merah sedang meminta belas kasihan. Alangkah lucunya negeri ini yang ingin maju tapi sekadar mimpi.

Syukur dan syukurlah, pertemuannya dengan Sule bisa sedikit membawanya bergerak kembali. Hitung-hitung bisa makan walau hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Dan di sini warung kopi, di jalan Petamburan. Seorang diri Jefri menikmati secangkir panas Kapal Api hitam.

"Tumben kamu sendirian, si Sule kemana?" tanya Bude penjual kopi.

"Enggak tahu, katanya tadi ada urusan tapi nanti mau menyusul kemari."

"Walah si Sule... macam orang kantoran saja."

"Hahahaha."

Tin!

Suara klakson mobil bak terbuka yang biasa digunakan untuk membawa bahan baku bangunan. Sule, si pengemudi mobil turun dengan wajah yang berbahagia seperti orang yang baru terima gaji besar.

"Astaga, Sule! Kamu ini bikin saya kaget saja pakai klakson segala! Memangnya warung saya ini membuat kemacetan?"

Sule menyengir, Jefri pun diam-diam terkekeh. "He,... ya maaf, Bude. Habisnya ada kabar gembira untuk kita semua."

"Kabar opo? Gaji mu naik?"

"Bukan."

"Naik pangkat jadi mandor?"

"Bukan juga...."

Si Bude menggaruk kepala. "Lha, ya terus opo kalau bukan-bukan?"

"Minta kopi hitam satu, hehehe."

"Ealah, wong edan!"

Dua pria ndableg itu saling melempar tawa. Sule duduk dekat Jefri masih dengan memasang wajah berseri-seri bagaikan model dalam iklan sabun cuci wajah. Sedikit mengerikan.

"Kenapa lihat saya begitu, Bang? Jangan bilang kalau Abang suka sama saya," kata Jefri khawatir.

"Ai sia! Kehed!" Sule menoyor kepala Jefri.

"Aduh!" ringis si pria.

"Ya kali saya belok. Dzikir saya seribu malam."

"Ya, lagian... kayak begitu lihatnya. Kan saya jadi mikir yang enggak-enggak."

MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang