#14. Pulang

105 20 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Cuaca hari ini lumayan terik dan membakar kulit. Jefri sibuk memotong kayu yang biasa dilakukan oleh Aji, yang waktu itu sempat meminjamkan kaus putih polos kepadanya. Ya, pria itu sedang ikut mengais nafkah agar bisa hidup dan tidak membebani Arunika selaku pemilik rumah yang ia diami sementara. Sejak bertemu dengan wanita sederhana itu Jefri selalu belajar mengenai hal-hal kecil sehingga sekarang pikirannya sudah terbuka luas.

Dan bekerja, adalah bukti bahwa ia bertualang dari nol. Bukan dari sepuluh seperti saat sang ayah menjadikannya penerus perusahaan.

"Hidup di bawah itu tidak selamanya dapat dipandang buruk. Tetapi, bisa dikatakan ada baiknya juga. Kita bisa belajar menghargai hal-hal kecil yang membuat kita ingat untuk bersyukur atas nikmat yang ada. Yang buruk bisa menjadi baik serta sebaliknya. Itu semua kembali kepada diri sendiri mau menjadikannya yang seperti apa."

Kalimat itulah yang diingatnya dari sang wanita.

"Mas, Jef!" Panggil Aji kemudian Jefri menoleh.

"Apa, Ji?"

"Dipanggil, pak Dharma. Disuruh ke rumahnya."

"Yang kades itu, kan?"

"Iya."

"Kapan?"

"Sekarang."

"Lho, terus kerjaan mas bagaimana? Kan, belum selesai Ji," ujar Jefri khawatir.

"Biar saya yang urus. Mas Jefri pergi saja kesana, soalnya juga tadi katanya pak Dharma ada hal penting yang harus dibicarakan."

Jefri mengangguk kemudian berlalu.









"Sebaiknya, nak Jefri pergi dari sini dan kembali ke tempat asal."

Jefri mengerutkan keningnya. "Kembali ke tempat asal? Memangnya ada apa ya, Pak?

Pak Dharma selaku kepala desa menatapnya dengan rasa tidak nyaman begitu juga beberapa tokoh masyarakat setempat yang ikut dalam kepentingan kali ini.

"Karena kehadiran kamu di sini sudah menjadi buah bibir para masyarakat. Telah banyak beredar kabar-kabar tidak sedap mengenai kamu dan Arunika."

"Tapi saya dengan Arunika tidak pernah melakukan hal-hal yang dipikirkan seperti itu, Pak," balas Jefri tidak terima.

"Saya tahu kamu anak yang jujur dan baik kepada masyarakat di sini. Tetapi, beberapa warga sudah banyak berdatangan kesini untuk meminta kamu agar segera pergi meninggalkan tempat ini. Mereka ingin menghindari hal-hal yang dapat merusak citra adat dan istiadat pun juga agama."

Pria itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

Seorang bapak tua besorban kemudian bersuara. "Bukan maksud kami tidak suka dengan kehadirannya, nak Jefri di sini. Saya pun tahu... kamu itu anak yang baik. Pernah membantu saya membersihkan surau bersama murid-murid pengajian saya waktu itu. Akan tetapi, pada dasarnya pun telah kita ketahui... bahwasannya, tidak baik jika seorang laki-laki tinggal satu atap dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya. Apalagi, belum ada ikatan yang sah atas nama agama. Dan saya pun juga percaya kalau kamu memang tidak melakukan hal-hal buruk tersebut. Namun, perlu nak Jefri ketahui. Yang namanya hawa nafsu itu bisa datang kapan saja, walaupun kita sudah berusaha menahannya. Semua bisa terjadi baik secara sadar maupun tidak. Dan maka dari itu, kami ingin kita sama-sama menghindari hal buruk tersebut demi kebaikan," ujarnya lembut.

Jefri hanya dapat bungkam mendengar penjelasan sang bapak besorban. Apa yang beliau katakan memang ada benarnya juga.












Malam tenang menemani dua manusia yang tengah duduk bersama api unggun. Sudah dua jam berlalu mereka terdiam tanpa sepatah kata untuk saling berbicara.

"Besok... pulang?" tanya Arunika memecah hening.

"Aku tidak tahu, apa aku bisa merasa lebih di rumah daripada disini."

Mereka saling bersitatap.















Di tepian dermaga pelabuhan ada sebuah kapal yang siap mengantarkan para penumpangnya menuju tempat tujuan. Pagi ini Jefri akan kembali ke tempat asalnya mengabulkan permintaan demi sebuah kebaikan.

"Pak, saya pamit pulang. Terima kasih banyak. Maaf kalau selama ini ada salah."

"Iya, Jefri. Sama-sama. Justru, saya yang harusnya berterima kasih soalnya kamu banyak bantu kami juga," kata bapaknya Awan sembari menepuk pundak si pria.

Setelahnya, Jefri bergantian memandang ke arah Arunika yang tepat berada di samping Pak Awan berdiri. Dilihatnya dua mata sang wanita yang mungkin sedang menahan tetesan air namun ditutupi oleh sebuah senyuman manis.

"Arunika, terima kasih banyak atas segalanya. Kamu sudah menolong saya, merawat saya hingga sembuh dan memberikan saya tempat untuk tidur. Selain itu, kamu juga telah memberikan saya banyak pelajaran tentang kehidupan. Saya bersyukur dipertemukan dengan kamu di sini. Maaf jika saya ada salah dan pernah membuatmu terbebani."

"Tidak, saya tidak merasa kamu itu beban dan merepotkan. Saya ikhlas menolong kamu dan sudah seharusnya manusia saling seperti itu. Saya juga bersyukur mengenalmu walaupun kamu terkadang menyebalkan," balas Arunika diselingi sedikit tawa.

Keduanya berpelukan erat cukup lama seakan ini adalah yang terakhir kalinya. Sampai ada pemberitahuan jika kapal siap berangkat.

"Saya pamit," ucap Jefri sambil perlahan menjauh.

"Hati-hati."

Pria itu mengangguk, namun sesaat kakinya berpijak pada anak tangga pertama kapal. Seseorang menariknya agar tubuhnya berbalik.

Arunika, wanita itu yang menahannya.

"Barang saya ada yang—"

Perkataan terpotong, sang wanita menarik wajahnya untuk memberikan sebuah kecupan.









"Saya akan selalu di sini...."









"Menunggumu kembali."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Halo, adakah yang masih bertahan?


Tumben saya tulis
agak panjang.

MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang