Kezzey terbangun karena raungan sirine mobil polisi melintas di kota, begitu kencang dan cepat berlalu. Ia menggerakkan tubuhnya melihat ke sisi ranjang, masih kosong, bahkan ranjang itu terasa dingin sama seperti saat dirinya naik. Semilir angin menerpa tirai jendela tipis yang tersibak, mungkin terkena angin. Kezzey mengucek matanya dan melongok ke arah balkon, aroma rokok yang dibakar tercium, menuntun matanya untuk memastikan bahwa itu suaminya.
Pria berkaus tanpa lengan itu menenggak minuman, bukan air mineral pastinya. Warnanya kuning dan aromanya kuat, Kezzey tak menyukai aromanya begitu juga dengan efeknya pada lelaki itu. Lelaki bertubuh tegap dan berotot menoleh sekilas karena mendengar derap langkah Kezzey. Tapi, Ia kembali menenggak minuman itu sambil tetap berdiri menatap kota dini hari.
"Kau tidak tidur?" tanya Kezzey memeluk suaminya.
Pertanyaan kezzey tak segera dijawab, menunggu hingga tegukan kedua barulah menoleh ke arah wanita yang memeluknya dari belakang.
"Aku tidur, tapi nanti." Pria itu melepaskan dekapan Kezzey.
Kezzey menatap lain punggung suaminya, punggung itu tak lagi jadi tempat spesialnya saat ingin bermanja, atau sekedar ingin diberi waktu untuk bercerita. Pria berambut cepak itu tengah menerima telepon, entah bicara apa, ada banyak kata-kata janggal yang jelas tak mau Justin katakan. Kezzey menguap dan melipat tangannya masuk ke kamar, membiarkan lelakinya di sana sambil terus bicara.
"Justin, ini apa?" Justin berbalik, menatap tajam ke arah Kezzey dan mengedikkan dagunya, memintanya masuk ke dalam.
Kezzey terbangun lagi, kali ini bukan karena sirine mobil polisi, melainkan alarm yang disetel berbunyi nyaring setiap pukul enam pagi. Lenguhan tak suka terdengar dari sisi ranjang, suara dari pria yang berat itu mendengung di telinga Kezzey.
"Matikan alarmnya, Kezzey!! Aku masih ngantuk!" Justin mengomel.
Kezzey mematikan alarmnya dan memeluk lengan Justin, "Justin, ayo bangun. Ini sudah pagi."
"Jangan ganggu tidurku!! Awas saja, awas!" Justin mendorong tubuh Kezzey mundur dengan kasar.
Kezzey terdiam, menelan salivanya sedih dan bangun dari ranjangnya. Dunia perlahan telah menggeliat pagi ini, dan Kezzey mulai menyiapkan sarapan meski tanpa Justin pagi ini. Kezzey menyimpan separuh nasi goreng buatannya ke dalam kotak bekal. Ia mengenakan seragam kerja setelah membersihkan diri, melihat ke arah ranjangnya tetap Justin tak bergerak.
"Justin, aku berangkat. Justin," panggil Kezzey.
Suaminya tak bergerak ataupun bersuara, kemudian Kezzey melihat arlojinya, saatnya Ia berangkat kalau tidak mau tertinggal bus ke arah tempat kerjanya. Kezzey menutup sarapan Justin dengan tudung saja sekalian berjalan ke arah pintu keluar. Ia menguncinya dari luar dan berangkat menunaikan tuntutan hidup di kota sebesar ini.
Di perempatan jalan, di bawah traffic light, Kezzey melihat ke luar kaca jendela bus, mobil-mobil seharga ratusan juta berhenti, di dalamnya pria berpakaian rapi menyetir, menunggu lampu menyala hijau sambil memakan sarapan mereka yang tertunda atau mendengarkan berita pagi dari radio di dalam mobil berpendingin udara.
"Sarapan, Mbak?" tawar seorang ibu separuh baya menawarkan roti isi cokelat pada Kezzey.
"Terima kasih, Bu."
"Ambil saja, buat nanti di tempat kerja." Ibu berhati baik itu memberikan roti lengkap dengan plastiknya kepada Kezzey.
Kezzey tersenyum, sekiranya wanita paruh baya itu seumuran dengan mertuanya. Tapi, sayangnya Justin tidak memberitahu di mana ibunya berada sampai saat ini. Ibu itu berkata jika bekerja di pabrik plastik yang berada di kompleks pabrik, cukup jauh dari Pramdana Hotel.
"Ibu turun dulu ya," kata wanita paruh baya itu pamit pada Kezzey.
"Iya, Bu. Terima kasih rotinya, hati-hati." Kezzey memberikan senyuman manis pada si Ibu.
Wanita berseragam biru langit dipadukan biru dongker itu turun, bergabung dengan rekan kerjanya masuk ke area kompleks pabrik. Sementara Kezzey masih setia duduk, menunggu bus mengantarnya tepat di halte dekat Pramdana Hotel. Menjadi OG bagian kantor di hotel sebesar ini tak membutuhkan tenaga berlebih, mungkin iya bagi pekerja baru, mereka sering mengeluh dengan senior yang memerintah seenaknya.
Setiap peluh menetes dari pori-pori kulitnyalah yang membiayai hidup Kezzey selama dua tahun belakangan. Justin memang suaminya, tapi jika dibandingkan uang hasil kerjanyalah yang paling terasa. Justin jarang memberinya uang, tapi semua kebutuhannya Ia yang menanggung. Kezzey mencari tempat duduk untuk memakan bekalnya, kupon makannya dikumpulkan dan diuangkan di akhir bulan, bisa untuk tambahan membayar sewa.
Kezzey memakan bekalnya sendirian, ditemani silir angin siang hari yang tak seimbang dengan teriknya panas matahari. Masih ada separuh jam kerjanya sebelum pukul empat nanti, menyiapkan tenaga untuk melanjutkan pekerjaan yang terasa tak pernah ada habisnya.
"Zey, bawa payung?"
"Enggak, hujan ya?"
"Iya, hujan. Lumayan deras nih," kata teman kerjanya.
Kezzey mengikuti rekan kerjanya membuang sampah, benar langit tengah menangis, hujan turun dengan derasnya. Beberapa rekan kerjanya pulang menerjang hujan, tapi ada juga yang dijemput suaminya mengenakan jas hujan dan berboncengan motor. Kezzey memilih menunggu hujan reda di bagian belakang hotel, tak lama sebuah mobil berhenti, pengemudinya turun membawa payung.
Kezzey terperangah karena tak menyangka pengemudi mobil itu adalah Justin. Pria itu mendekati Kezzey dan mengajaknya pulang masuk ke mobil. Kezzey bertanya perihal mobil yang dibawa Justin, pria itu berkata jika itu mobil bekas yang dibelinya murah. Kezzey tersenyum senang karena Justin sudah perhatian padanya, mau jauh-jauh dan hujan-hujanan menjemputnya. Sesampainya di rumah sewa juga Justin masih menunjukkan sisi romantisnya, Ia berkata jika sudah membeli lauk banyak untuk makan malam.
"Tumben kaubeli lauk, aku jadi tinggal masak nasi saja kalau begini," kata Kezzey mengusap handuk ke rambutnya.
Justin memeluk Kezzey dari belakang, "Aku..."
"Aku apa?"
Ketukan di pintu rumah sewa mereka terdengar, Kezzey melepaskan pelukan Justin untuk membuka pintu. Wanita cantik itu mengerutkan kening karena mendapati dua polisi ada di depannya.
"Selamat petang, Pak Justin. Ini sudah waktunya Anda ikut kami." Pria tinggi dan tegap itu masuk dan meringkus Justin.
"Maksudnya apa, Pak?" tanya Kezzey kaget. "Justin, Justin ini maksudnya apa?"
Justin menceritakan apa yang telah dilaluinya selama seharian ini tanpanya. Bahwa Ia ditangkap polisi karena terbukti bersalah, dibantu pihak kepolisian menjelaskan jika Justin membunuh seorang pria dengan kejam dan menemukan barang bukti. Bungkusan yang ditanyakan Kezzey semalam adalah barang buktinya. Kezzey hanya terdiam menangisi Justin.
"Maafkan aku, maaf." Justin menyentuhkan keningnya di kening Kezzey, hanya sesaat, karena polisi membawanya di bawah hujan sekalipun.
"Harusnya kaubilang padaku, jelaskan padaku, Justin! Justiin!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asterin ✓
RandomKumpulan cerpen dengan berbagai kisah. Isinya mungkin hanya barisan kata sederhana, semoga bisa memperoleh petuah untuk kehidupanmu. Check this out! ^^ 25.11.2020