Keramaian cafè Sabtu malam tak menyurutkan nafsu makan gadis berambut pendek. Seporsi roti lapis, dua porsi kentang dan dua gelas cola berjejer rapi antre untuk dimakan. Pengunjung lain yang kebetulan melihat meja nomor lima melirik tak percaya, sebab gadis itu duduk sendiri sambil melempar pandangan ke luar dinding kaca Lost Cafè. Jika yang lain datang berdua atau berkelompok perempuan dan lelaki untuk berkencan atau sekadar hang out, ia memilih sendirian sampai roti lapis kedua kandas. Pintu cafè terbuka, sosok lelaki berhidung mancung mengedarkan pandangan ke seantero ruangan. Dia menemukan sosok yang dicari pun segera mendekat, tak memedulikan bisikan-bisikan para kawula muda yang terpesona akibat parasnya.
Lelaki itu duduk di meja nomor lima dan menatap horor makanan yang tersaji. "Kau makan kayak orang kerasukan, enggak baik huat lambungmu, Raein!"
Tak ada sahutan sampai beberapa menit berlalu. Dua gelas cola dan seporsi kentang goreng dijauhkan agar dapat perhatian dari gadis berambut cepak. Benar saja, Raein menatapnya saat tak bisa meraih makan malannya. Raein masih berusaha meraih tanpa harus meminta namun, makanannya tetap jauh.
"Jangan ganggu makan malamku, deh!"
"Perutmu bisa sakit, Raein. Kalian bertengkar lagi? Kalau iya, ini bukan pelarian yang tepat, ingat lambungmu ada porsinya, bukan kayak gini!"
"Kalau kau mau, pesen aja sendiri, kutraktir, deh!" Raein bangkit sedikit dan meraih semua makanan yang dijauhkan sahabatnya.
"Sikapmu menjawab semua pertanyaanku, Raein," kata lelaki itu sementara Raein masih diam, sibuk dengan makanannya. "Lalu di mana Pelangi?"
"Ada sama dia," kata Raein tak melihat lawan bicara.
"Dia tahu kau kemari? Kasihan, ajak dia juga mestinya biar dia enggak murung."
"Aku malas ketemu mamanya, Van."
"Ya sudah, aku saja yang jemput dia." Lelaki itu pergi meninggalkan Raein.
Sahabat lelaki Raein pergi menjemput Pelangi, adik kandung perempuan Raein berusia lima tahun yang tinggal dengan mama mereka. Setiap akhir pekan, Pelangi dan Raein terbiasa menghabiskan Sabtu malam bersama, mengeluarkan keluh kesah selama satu minggu tak bertemu. Ya, Raein tinggal dengan papanya yang super sibuk di rumah kedua yang berjarak cukup jauh. Jovan tak peduli sejauh apa rumah Tante Marisa, harus menjemput Pelangi agar bisa bertemu dengan Raein.
Motor Jovan berhenti di sebuah rumah di kompleks perumahan berlantai dua, di sanalah Raein pernah dibesarkan sebelum keretakan rumah tangga oramg tuanya mengubah segalanya. Jovan memencet bel pintu, Seorang wanita dewasa seusia mamanya keluar tak sendiri, tapi bersama seorang pria berkumis yang memakai kemeja sama rapinya dengan mama Raein.
"Oh, Jovan. Tante kira siapa? Masuk sebentar, Yuk!" ajak mama Raein ramah.
"Di sini saja, Tan. Sebentar kok."
"Kakak Jovan!" seru suara gadis kecil keluarga Hartono.
"Hei, Pelangi. Kok mukanya ditekuk gitu, sih?"
"Kak Raein mana? Kok Kak Jovan sendirian?"
"Angi, ayo dipakai sepatunya, kita sebentar lagi pergi, yuk! "
"Pelangi enggak mau ikut Mama, mau ikut Kak Jovan aja."
"Angi, kita pergi sama Papa Farhan loh, nonton bioskop Frozen," kata mamanya membujuk.
"Enggak! Pelangi mau sama Kak Jovan aja. Kalau sama Mama dan Om Farhan, aku diabaikan!" Pelangi menarik tangan Jovan pergi.
Mama Pelangi dan Raei mendekati sepeda motor Jovan di mana putri keduanya sudah naik, memberi wejangan pada Pelangi tidak boleh makal dan macem-macem, lalu meminta Jovan untuk mengantarkan Pelangi sebelum jam sembilan malam. Jovan menyetujui perintah mama Raein dan membawa Pelangi pergi, di sepanjang jalan gadis kecil itu berkeluh kesah karena sikap mamanya telah berubah sejak adanya Om Farhan. Ia meminta untuk diantarkan menemui kakaknya, Raein benar saja sesampainya di kafe, Pelangi berlari memeluk kakaknya sambil bersandar.
"Kakak jahat, kenapa enggak jemput Pelangi!" seru Pelangi manja.
"Kakak tadi ada urusan yang enggak bisa ngajak anak kecil, trus kelaparan jadinya maka dulu."
Jovan duduk dan melirik ke arah Raein, alasan klasik, bodohnya Pelangi percaya dan tetap menyayangi adik perempuannya seperti sebelumya. Raein menatap adiknya sambil tersenyum, hanya dengan melihat wajah adiknya sudah bisa melembutkan perasaannya yang sekeras batu tepi pantai.
"Kakak, aku bawa baju, boneka sama buku cerita. Aku mau bermalam di rumah Papa sama Kakak pokoknya."
"E, soal itu mamamu tadi berkata kalau jam sembilan harus pulang, Ang."
Pelangi menoleh sambil cemberut. "Aku mau tinggal di rumah Papa, biar dibacain buku cerita sebelum tidur. Kalau sama Mama, Pelangi enggak pernah dibacain buku cerita lagi sejak ada Om Farhan."
"Pelangi sudah makan?"
"Belum," kata Pelangi berbohong.
"Masih ada kentang goreng, mau ayam goreng sama nasi?"
"Ya, Angi mau nasi sama ayam goreng yang sayap, terus susu cokelat jangan lupa!" seru Pelangi manja sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi terawat.
"Baiklah, Nona Pelangi!" Raein bangkit.
"Pesankan makanan untukku juga, laper habis jemput Pelangi." Jovan mencegah lengan Raein.
"Khusus Pak Jovan harganya naik dua kali lipat."
"Sepuluh kali lipat akan kubayar."
"Gombal."
Malam Minggu Pelangi yang tadinya suram pun sekarang berganti ceria. Ditemani Jovan dan kakak tercinta ditambah bermalam di rumah papanya sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Namun, hampir saja ia terpejam, suara mamanya terdengar dari luar kamar memanggilnya. Papa terdengar mengajak bicara, akan tetapi rupanga mama tak mau tahu, malam ini juga ia harus pulang.
"Pelangi enggak mau pulang, Kak," rengek Pelangi.
"Tidurlah, nanti kalau Mama ke sini, kakak yang akan bilang."
Benar saja, mama mereka masuk dan membangunkan Pelangi namun dicegah mantan suaminya. Pelangi yang memejamkan mata enggak bergerak justru memeluk erat kakaknya.
"Angi, ayo bangun! Mama kan sudah bilang jangan pulang lewat jam 9!"
"Dia baru saja tidur, kasihan kalau harus bangun. Biarkan dia tidur di sini, besok aku akan antarkan dia." Papa Raein menasehati mantan suaminya.
"Kau tahu apa? Dia pokoknya harus pulang gimanapun yang terjadi."
"Sudahlah, biarkan dia tidur di sini. Toh di sana hanya melihat mamanya kencan dengan pria lain. Dia di sini juga bersama keluarganya, bukan orang lain. Dewasalah sedikit, Ma."
"Kau ...! Besok akan kujemput dia!"
"Ini efeknya perceraian kalian. Jadi, terima saja bila kondisinya begini," kata Raein menatap mamanya sebelum pergi.
"Anak sama bapak sama saja!"
Mama Raein pergi dengan perasaan kesal, di luar Om Farhan tak bisa berkata apa-apa selain membawa mobilnya pergi. Pelangi yang dari tadi pura-pura memejamkan mata kini membuka matanya lebar-lebar. Raein tertawa kecil, disusul papanya kemudian mereka bertiga tertawa lebar bersama. Rumah tangga orang tua mereka memang sudah hancur kadena keegoisan, akan tetapi anak-anak tetaplah anak, sebesar apa pun mereka.
"Ada yang mau omelet ala papa?" tawar papa mereka diiringi kedipan mata.
"Aku mau! Yang dobel, yang dobel, Pa!" teriak Pelangi kegirangan.
"Siap, Bos kecil!"
"Nanti kamu kekenyangan sulit tidur loh!"
"Biar, wee!" Pelangi melompat turun dari ranjang dan menyusul papanya.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Asterin ✓
DiversosKumpulan cerpen dengan berbagai kisah. Isinya mungkin hanya barisan kata sederhana, semoga bisa memperoleh petuah untuk kehidupanmu. Check this out! ^^ 25.11.2020