Di Luar-12

29 3 0
                                    

Aroma harum bumbu yang sudah digiling bercampur dengan santan menguar seantero dapur kecil nun sederhana. Tangan tua itu mengaduk kuali dengan sendok kayu dari batok kelapa, sendok kayu kesukaannya. Ia menyendok sedikit kuah, mencecap rasa yang bercampur dan berbalik, tangannya meraih wadah kecil berisi butiran halus garam, mengambil sejumput kemudian menaburkannya di kuali.

Langkah kecil mendekat pelan, mengucek matanya dan menguap sebelum akhirnya menghambur memeluk wanita tua yang berkutat di dapur. Wanita beruban sepenuhnya itu berbalik, mengelus rambut gadis berkepang yang awut-awutan. Ia tersenyum dan menuntunnya untuk naik ke kursi kayu di dekatnya.

"Woah! Kari ayam! Lilian suka, Nek!"

"Iya, ini kesukaan Lilian, tapi nanti ya, ini belum matang." Wanita tua itu memberitahu.

"Lilian boleh ikut mengaduk?"

"Tapi pelan-pelan ya, jangan cepat-cepat nanti ayamnya melompat."

Lilian tertawa menampakkan deretan giginya yang putih bersih dan utuh pada neneknya. "Ayamnya udah dipotong-potong, masa bisa melompat?"

Wanita tua itu tertawa kecil dan berbalik, Ia hendak mengambil mangkuk melamin ukuran sedang di rak piring. Tapi, ada yang menghentikan langkahnya sesaat, kehadiran pria tak pernah diinginkannya. Pria itu tak bergerak, hanya menatapnya dan tanpa ekspresi. Nenek Lilian berjalan tepat di sampingnya, tak mempedulikannya meski ingin sekali bertanya.

"Nenek airnya udah meletup-letup!" seru Lilian.

"Iya, sebentar lagi lalu matikan kompornya. Bisa?"

"Bisa dong, Lilian!" Gadis itu mengaduk pelan sesaat dan mematikan kompornya. "Hmm, aromanya lezat!"

Nenek Lilian kembali membawa mangkuk hijau, mengambil beberapa potong daging ayam, kuahnya dan memberinya taburan bawang goreng. Lilian tak hentinya menatap kegiatan neneknya di pagi hari ini, selalu membuatnya takjub dan terbangun karena aromanya yang lezat.

"Lilian mau jadi seperti nenek, pinter masak, pinter menanam daun bawang sampai gemuk-gemuk dan berberes rumah!" Lilian tersenyum pada neneknya.

"Lilian nanti akan jadi gadis hebat kalau mau berusaha dan berdo'a pada Tuhan, ingat Dia dimanapun kau berada," kata Nenek Lilian.

"Janji! Aku sayang, Nenek!" seru Lilian memeluk neneknya.

"Sekarang mandi ya, nanti Lilian sudah selesai kuahnya udah agak dingin," pinta neneknya.

"Siap!" Lilian memberi hormat laksana pada pemimpin upacara.

Kakinya yang mungil berlari ke kamarnya, mengambil handuk dan baju ganti kemudian pergi ke kamar mandi. Ia melihat neneknya menyendokkan nasi dari mangkuk nasi ke dua piring putih di atas meja, tersenyum dan masuk ke dalam. Neneknya tak benar sendirian di rumah sederhana ini, ada pria lain di rumah tanpa diundang dan hadir begitu saja seperti angin.

"Aku rasa tidak ada tamu yang akan datang, tidak ada janji." Nenek Lilian berkata sambil duduk.

Pria yang duduk di depan nenek Lilian tak segera menjawab, masih setia duduk dan menatapnya. "Aku datang karena namamu ada di daftar tugasku."

Nenek Lilian tertunduk sedih, tangannya terpaut sedikit bergetar meski Ia menutupinya dengan mengelusnya pelan. "Kapan?"

"Tepat tengah malam."

Nenek Lilian tersenyum kecil, "Dunia selalu berkembang bukan? Harus ada yang pergi untuk memberi tempat yang datang."

"Kau benar. Sudah waktunya kau menemuiNya dan keluargamu di sana."

"Aku tidak takut, sudah waktunya aku menjumpaiNya untuk segala dosa yang telah kulakukan. Tapi, ini soal Lilian. Bagaimana anak kecil seusianya sendirian?"

Asterin ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang