I Hope-3

137 22 0
                                    

Hujan turun sejak pukul dua siang rupanya tak mau berhenti. Sebagian besar pegawai Orange Textile sudah pulang, mereka yang tak mengira akan hujan memilih menerobos rinainya, sedangkan orang terakhir yang bersikeras mau bertahan dengan wanita berkacamata baru saja pergi setelah menghabiskan kopinya. Kini, hanya tersisa wanita berkemeja kotak-kotak warna nude masih bertahan hingga pukul tujuh lewat lima belas menit.

Ia menengadah dari balik pintu kaca Orange Textile langit belum mau meredakan 'tangisnya'. Seharusnya, ia sudah di rumah, menyiapkan makan malam untuk suami dan anak-anaknya, bukan terjebak di sini. Dering ponsel si wanita terdengar kencang karena ruangan memang sunyi. Nama suaminya tertera di layar dan seketika diterimanya. Terdengar suara riuh anak-anak yang mempertanyakan di mana induk mereka.

"Halo, Sayang, kau masih di OT? Anak-anak sudah bertanya kapan kau pulang."

"Iya, hujannya masih deras, tidak ada payung atau jas hujan tersisa, semuanya sudah terpakai. Mungkin aku akan menerobos dan berlari kencang ke halte sebelum pukul delapan."

"Maaf ya, aku tak bisa menjemputmu. Mobilnya masih di bengkel."

"Tak apa, baiklah aku akan bersiap."

"Dengar, mama kalian mau pulang, jangan rewel okey!" seru suaminya pada anak mereka. "Aku akan tunggu di lobi bersama anak-anak. Hati-hati, ya."

"Iya, Sayang."

Wanita bercepol itu membereskan meja kerja dan barang pribadinya dan mematikan lampu di atas meja lantas tak lupa memadamkan lampu utama, hanya tersisa lampu-lampu tepi ruangan yang bersinar redup. Ia mengegerai tirai tipis di pintu kaca berteralis sebelum menguncinya dari luar dan pulang.

Hujan benar-benar memperangkap orang-orang yang tak sedia payung sebelum hujan, bukan ungkapan, tapi itu fakta hari ini. Ada lima orang calon penumpang di halte seberang Orange Textile menunggu bus. Di sela menunggu, ia —Barbara—melihat lampu utama kantor menyala terang, padahal seingatnya sudah dimatikan sebelum menguncinya. Barbara menajamkan penglihatannya yang kabur sebab hujan masih saja turun namun, ia dikagetkan dengan klakson bus yang tanpa disadarinya telah datang.

"Nyonya kau mau naik atau tidak? Ingat, ini bus terakhir!" seru sopir bus.

Barbara galau, sebab ia merasa benar sudah mematikan lampu utama OT, lalu siapa yang menyalakannya? Jika ia memeriksa ke sana, akan terancam ketinggalan bus dan mungkin naik taksi dengan harga tiga kali lipat daripada bus. Barbara memutuskan mengabaikan apa yang terjadi dan masuk ke bus. Ia berharap tak terjadi apa-apa esok pagi, sebab Madam Quz akan memarahinya jika lupa mematikan lampu utama dengan alasan biaya listrik membengkak.

Di lantai utama flat tempat tinggalnya, Barbara disambut oleh teriakan riang dua buah hatinya, Jessica dan Jacob. Mereka berempat segera menaiki lift dan masuk flat, aroma telur gosong memyambut indra penciuman Barbara, pun langsung menoleh ke arah suaminya.

"Baiklah, aku mengaku. Aku hanya menggosongkan satu telur kok."

"Telur mata ayam buatan Papa gosong, Ma. Buatkan makan malam, ya? Aku lapar," rengek Jessica.

"Lapar, J lapar," beo Jacob.

"Iya, iya, Sayang."

Barbara sepanjang jalan memikirkan siapa yang menyalakan lampu utama OT kini berpindah haluan mengurusi keluarganya. Besok ia akan datang lebih awal dan memeriksa apakah ada kerusakan lampu utama sebelum pegawai lain datang.

Esoknya, Barbara datang lebih awal dan ternyata lampu utama padam, hanya menyisakan lampu tepi ruangan saja. Rekan kerjanya menepuk bahu Barbara dan bertanya ada apa? Mengapa sampai memperhatikan lampu utama sedemikian serius. Namun, Barbara tak mengaku. Hari ini, sebagian besar pagawai OT ke pabrik dan tempat lain guna menunjang pekerjaan. Di ruangan utama ada Barbara dan empat orang lain di ruangan lain.

"Barbara!" seru seseorang dengan ramah.

"Hei, kau kembali? Sejak kapan?"

"Kemarin."

"Jangan bilang kalau kau semalam ke sini?"

"Ya, aku meminjam kunci Erick sebab sudah memanggilmu, tapi tak dengar."

"Oh, ya Tuhan. Maaf, Merry, makanya semalam aku lihat lampu utama nyala."

"Ya, aku rindu dengan meja kerjaku. Okey, selamat bekerja, Barb."

Mereka berpisah sebab berbeda ruangan, Barbara bisa mendengar mesin ketik dan mesin cetak bekerja di ruangan sebelah. Tak ada hal aneh yang terjadi lagi, bahkan Merry memberi tunjuk hasil kerjanya menciptakan desainer baju untuk festival pakaian musim dingin. Ya, Merry memang terlibat dalam proyek itu, merupakan cita-citanya selama ini sebelum menikah dengan kekasihnya.

Festival pakaian musim dingin tinggal besok, Merry berkata sudah menyerahkan map idenya di meja Madam Quz. Saat jam pulang kerja pun Merry masih di tempat, sibuk dengan mengotak-atik kain dan manekin atau mesin jahit.

Hari ini, Barbara libur bekerja. Ia menghabiskan waktu liburnya dengan mengajak anak-anak pergi ke mal, tempat favorit mereka adalah Play Zone. Barbara mengisi saldo kartu dan anak-anak bebas memakainya sampai saldo habis.

"Maaf, apa kau Barbara?" tanya seorang pria yang tak asing di mata Barbara.

"Ya, aku Barbara. Kau—"

"Yeah, aku Kristian kekasih Merry."

"Ah, iya."

"Seharusnya hari ini aku mulai membagikan kartu undangan pernikahan kami dua minggu lagi, tapi sayang, dia meninggalkanku."

"Meninggalkanmu bagaimana?"

"Dia sudah meninggal, Barbara. Aku tak tahu lagi harus kuapakan kartu sebanyak ini. Semuanya kandas, semua mimpi kami sirna."

"Tunggu, Kris. Kau tadi bilang kalau Merry meninggal? Maksudmu memutuskan hubungan kalian?"

"Bukan. Bukan begitu," kata Kristian.

"Dia meninggal karena kecelakaan bus kemarin malam, dia pergi ke rumah bibinya di seberang kota dan ditabrak bus dengan kencang. Dia tak selamat."

"Tidak mungkin, jangan bercanda, kemarin-kemarin kami mengobrol dan kau berkata dia sudah meninggal?"

"Aku tidak berbohong, Barb."

Barbara tertegun di tempat, Kristian sudah pergi menghibur dirinya sendiri. Kini Barbara menggiring anak-anak ke rumah ibunya dan mendatangi makam yang ditunjukkan Kristian, di sana di tanah yang masih basah tertera nama Merry Zuana. Barbara menangis mengingat bagaimana perjuangan Merry mewujudkan cita-citanya, ia ingin sekali jadi desainer perwakilan OT di festival pakaian musim dinginnya.

Barbara berhenti menangis ingat bahwa OT apakah sudah tahu perihal kematian Merry? Saat ia datang, semua pegawai OT berkumpul di ruangan utama sambil terisak sedih.

"Barbara, apakah kau sudah tahu soal Merry?" tanya Madam Quz.

"Ya, aku bertemu kekasihnya dan menceritakan semuanya."

"Ya Tuhan, aku baru saja mau memberitahu dia kalau namanya lolos sebagai perwakilan OT di FPMD nanti. Namanya akan tetap ada, agar kita semua mengenang cita-cita tulusnya."

"Ya, aku setuju."

"Setuju!"

"Terima kasih!" seru sumber suara yang sangat dihapal rekan kerja Barbara, itu suara Merry.

End

Asterin ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang