Langkah cepat dari sepatu kets terdengar hingga ke ujung gang sepi dan gelap. Deru napas berlomba dengan detak jantung tak berirama tenang, semua dikarenakan menghindari kejaran pria-pria bertampang garang yang mencari ibunya. Jika siswi lain di malam hari dihabiskan dengam bercengkerama bersama keluarga, membicarakan soal sekolah seharian atau tugas yang menumpuk berbeda dengan Jeslyn, setiap malam ia selalu mengunci pintu flat rapat-rapat, membuat makan malam secepat mungkin serta tanpa menimbulkan suara berisik.
Ia mendongak, menengadah dan menatap ke angkasa gelap tanpa sinar rembulan. "Tuhan, apakah masa putih abu-abuku hanya diisi dengan ini semua?"
Kakinya terasa lemas, lelah dan gemetar. Itu karena efek berlari kencang tanpa pedulikan apa pun kendala di jalan. Sampah, batu, pasir dan kubangan diabaikan karena tak mau ditangkap para pria asing berstatus penagih utang. Jeslyn tak yakin benar daerah mana dirinya berada saat ini? Yang jelas, pemandangan di depan sana menghipnotis Jesly. Angin segar di sekitar bukit menerbangkan anak rambutnya, sementara netranya menatap keindahan kuasa Tuhan. Gedung-gedung tinggi di kota yang terang benderang tampak seperti pendaran cahaya, sedangkan mobil-mobil yang lalu-lalang seperti gemintang di langit malam.
Jeslyn duduk di pembatas dan mengambil ponsel yang retak bagian kiri atas. Hasilnya memang bagus, namun karena layarnya tak semulus pemandangan akhirnya hanya helaan yang keluar dari bibir Jeslyn. Ponsel itu bergetar, nomor asing yang tertera di sana tak serta merta membuat Jeslyn tergerak untuk menerima, justru menunggu hingga nomor tersebut menelepon ketiga kalinya.
"Halo, kau di mana?"
"Ibu? Ibu di mana? Mereka datang lagi cari Ibu," kata Jeslym menjelaskan.
"Enggak penting ibu ada di mana sekarang. Kau pergilah ke minimarket Aprilmart ambil tas cokelat di bawah meja dispenser dan berikan pada mereka."
"Lalu Ibu akan pulang setelah ini?"
"Ibu masih ada urusan," kata ibunya santai.
"Ibu dapat uang bayar utang dari mana? Aku anak Ibu yang harus capek kabur demi hindarin kejaran para penagih utang yang entah ke mana uangnya!"
"Sudahlah, Jeslyn. Ibu malas berdebat denganmu jadi, sekarang turuti kata ibu dan bilang ke kasir Aprilmart kalau kau Jeslyn Milea ibu sudah berikan jatah makanmu selama beberapa hari ke depan. Jaga diri baik-baik."
"Ibu! Ibu! Ibu!" Jeslyn berteriak pada udara sebab ibunya memutus sambungan telepon sepihak.
Jeslyn menyandarkan keningnya di pembatas pagar, kemudian bangkit sambil mendesis dan pergi ke tempat di mana ibunya menunjukkan arah. Ia sudah mengambil uang yang dimaksud dan tengah menunggu para penagih utang datang di sebuah cafè. Tak perlu menunggu lama, tiga orang bertampang garang datang, mengedarkan pandangannya dan menghampiri Jeslyn.
"Mana uang yang kaujanjikan itu, Gadis kecil?" tanya salah satu di antara mereka.
"Jangan-jangan kau membual lagi, huh!"
"Jangan kira gertakan kami hanya bualan, Gadis!"
Jeslyn mendorong tas cokelat berisi segepok uang tunai di meja. "Jangan ganggu hidupku lagi!"
"Cepat periksa!"
"Uangnya asli dan bener jumlahnya, Bos!"
"Nah, gitu donk! Kalau kayak gini, kami enggak perlu kerja keras buat nagih!"
"Pergi dari hadapanku," kata Jeslyn pelan namun, menatap tegas pada mereka.
Ketiga pria bertampang _sangar_ pergi meninggalkan cafè, tersisa tatapan dari pengunjung tempat itu yang diabaikan Jeslyn. Ia sibuk makan malam dengan tenang untuk pertama kalinya sejak ibunya hutang pada renternir. Ia segera menghabiskan makan malamnya dan meninggalkan cafè, tak lupa menaruh uang di bill sebelum pergi. Di luar, Jeslyn berjalan cepat seolah sebentar lagi kiamat dan hampir saja membuat seorang wanita terjatuh akibat ditabraknya akan tetapi, karena berhasil dipegang jadi tak sampai terjadi.
Ia berlari pulang ke flat tak peduli kakinya lelah atau napasnya hampir putus. Mungkin Jeslyn adalah sosok gadis yang kuat dan tegar menghadapi para penagih utang ibunya, tapi ia tetaplah remaja yang rapuh dan butuh pendamping. Sayangnya, semua itu tak didapat Jeslyn. Ia hidup hanya berdua dengan ibunya tanpa ada sosok ayah dalam kehidupannya. Ibunya—Rianty—suka berfoya-foya, belanja dan makan enak meski masih ingat dengan putrinya. Contohnya saat ini, kemungkinan besar ibunya tengah berada di suatu tempat bersama pria kaya. Bagaimana Jeslyn bisa tahu? Jeslyn memang tahu.
Di bagian lain kota, wanita bergaun peach tersenyum sembari merapikan rambut sebahu yang telah diluruskan saat di salon siang tadi. Ia bergelayut manja pada seorang pria berstelan hitam nan rapi, mengambil alih jas yang baru dilepas si pria paruh baya.
"Mau mandi sekarang? Airnya sudah kusiapkan, hangat kuku," kata Rianty santun.
"Iya, gerah sekali. Makasih, ya."
"Untuk apa?"
"Untuk melayaniku dengan baik."
"Sama-sama, ini memang tugasku melayani suami."
"Dandanlah yang cantik, kita makan malam di luar setelah ini, aku mandi dulu," kata pria itu sambil tersenyum.
Rianty mengangguk manja namun, setelah suami kelimanya masuk ke kamar mandi senyumnya lenyap digantikan wajah ketidaksukaan. Ya, Rianty telah memasak sendiri makan malam mereka dengam susah payah namun, suami barunya justru memutuskan untuk makan malam di luar. Maka, yang ia lakukan adalah membungkus semua makan malam hasil kreasinya dan diberikan pada satpam rumah.
Tak berselang lama keduanya tampak keluar menggunakan pakaian terbaik lalu masuk ke mobil dan melesat pergi. Restoran favorit suami baru Rianty adalah sebuah restauran daging yang terkenal berada di dalam sebuah mall besar. Di sana, biasanya berkumpul para orang bernama yang menghabiskan sebagian waktunya bersama keluarga. Rianty sejujurnya tak menyukai situasi ini, sebab di mana mereka yang tahu siapa dirinya pasti menyindir meski dengan sindiran berkelas. Termasuk, malam ini, dirinya mendapatkan sindiran lagi hingga berujung pergi ke toilet untuk menenangkan diri.
"Persetan dengan istri kedua, ketiga, bukankah semua itu sama, huh! Siapa mereka bisa berkata begitu? Mereka mendukungku sekaligus menjatuhkanku, bagus sekali cara mainnya," oceh Rianty sambil mencuci tangan.
"Ya, memang faktanya eperti itu, bukan?" tanya sebuah suara seolah menjawab ocehan Rianty.
"Kau! Bagaimana bisa kau ada di sini?" tanya Rianty kaget.
"Mungkin karena aku ini anakmu, Bu. Makanya tahu di mana ibunya berada. Suami baru Ibu yang membayar semuanya, ya? Aku terkejut Ibu bisa gaet pria setampan dan sekaya dia. Congratulation!"
"Kau itu masih sekolah menengah atas, tahu apa yang dilakukan orang dewasa, huh! Apa uangnya kurang? Bawa ini dan pulanglah, jangan temui ibu kalau belum ibu izinkan." Rianty memberikan sebuah kartu pada Jeslyn namun, diabaikan oleh Jeslyn.
"Terima kasih telah membuat masa putih abu-abuku benar-benar abu."
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Asterin ✓
RandomKumpulan cerpen dengan berbagai kisah. Isinya mungkin hanya barisan kata sederhana, semoga bisa memperoleh petuah untuk kehidupanmu. Check this out! ^^ 25.11.2020