Missing Panacea

1.1K 185 9
                                    

tw: suicide.

---

Missing Panacea

Missing Panacea

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Desember, tanggal dua puluh empat di malam perayaan Natal kalau tidak salah. Sasuke Uchiha ingat dulu saat keluarganya baru pertama kali mau pindah rumah ke Kota Tokyo, Ibu pernah membeli satu pohon jacaranda kecil di perjalanan yang sempat dikira akan layu. Daunnya kering, batangnya kecil, nyaris tidak punya bunga—tidak ada harapan, pula karena dulu Ibu belum sempat sampai kepikiran membeli pot, beliau pun malah berakhir menanam si jacaranda asal di tanah lapang dekat rumah. Cuacanya saat itu sungguh sedang sangat dingin.

Ibu dan Sasuke kira, pohonnya akan mati.

Namun, ternyata. Tidak.

Sasuke terkekeh, membayangkan entah ada berapa banyak orang di areal komplek perumahan ini yang selalu jadi pelanggan meneduh di bawah rimbunnya jacaranda. Setiap sorenya pasti selalu dihuni anak kecil, pasangan muda, pasangan tua, ibu hamil, yang sedang olahraga—ah, banyak. Sebab pohonnya kini sudah besar, punya banyak sekali sulur, daun serta bunganya sungguh lebat, ungu, cantik sekali. Batangnya menjulang kokoh. Sejemang membuat si Uchiha mendongak dan berpikir; apa salah satu dahan jacaranda tersebut akan kuat jikalau harus dibuat menahan beban berat sebesar tubuhnya saat menggantung nanti?

Mengelap sisa-sisa air mata serta ingus yang masih mengalir menggunakan lengan hoodie, Sasuke menghela napas. Kendati mati-matian menahan tangis, namun remaja SMP tersebut tetap masih terisak tipis selagi kakinya terus melangkah. Hatinya masih sakit, pikirannya masih kacau, tubuh serta batinnya sungguh lelah.

“Anak idiot!” teriakkan murka sang ayah tadi sore bahkan masih terngiang bagai dengung ngengat di kepala Sasuke. Jelas. Sangat jelas. Ayah yang frustrasi, meremas jengkel surat tunggakan dari bank karena belum bisa kesampaian dulu membayar cicilan rumah beberapa bulan terakhir ini, ibu yang memandang cemas, adiknya yang diam-diam menangis karena melihat ayah marah—lalu Sasuke yang baru saja pulang dari sekolah, masih lelah sehabis mengikuti ektrakurikuler basket tanpa tahu-menahu tiba-tiba diseret oleh Ayah ke ruang tengah, dilempari beberapa botol obat kosong—yang barangkali Ayah dapatkan dari laci meja belajar sang putra secara diam-diam.

Sementara tersungkur, menatap takut, Sasuke hanya bisa geming saat ayah melanjutkan, “Kita bukan orang berada! Jangan berlagak pergi ke psikiater! Biayanya mahal! Konyol sekali hanya karena lelah pikiran biaya terapimu jadi bisa sampai mempersulit keadaan finansial kita. Kau itu hanya kurang bersyukur! Buka mata serta pikiranmu! Jangan hanya memikirkan keadaan diri sendiri saja. Kaupikir aku ini bekerja seharian tidak lelah, apa? Jangan hanya bisa menyusahkan saja, dasar kau anak sialan! Mati saja sana!”

The Knotted Chain of LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang