Elves And the Forest of Memories - [1/4]

779 148 18
                                    

Elves And the Forest of Memories — O1

Elves And the Forest of Memories — O1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Aku ingin tidur, namun suara duk duk duk serta tawa nyaring yang terus-menerus berdatangan sungguh menjengkelkan; kesadaranku jadi masih terjaga karena mereka.

Kalau aku tidak tahu salah satu penyebab kebisingan tersebut adalah suara yang dihasilkan dari ketukan antara sepatu Pangeran Mahkota Konohagakure dengan lantai kayu tenda, mungkin aku tak segan akan berteriak protes, tapi sinting saja bila aku melakukannya sekarang, aku pasti bakal berakhir mati tragis dengan cara dibakar hidup-hidup. Pada era sekarang, di negeri kami, pasal berteriak pada keluarga kerajaan—bahkan jika mereka salah dan pantas dikritik—sama saja dengan pengkhianatan.

"Tidurlah, Juugo." Seseorang berkata padaku.

Mataku terbuka secepat kilat. Langsung saja kutegakkan tubuh yang mulanya terasa penat ini begitu sadar aku satu tenda dengan Sasuke. Suaranya bagai hentak cemeti, dan perasaan bersalah menyergapku seketika. Tidak ada lagi orang yang lebih tulus kuhormati selain Sasuke Uchiha di negeri ini, sekalipun dia adalah pangeran malang; anak seorang martir yang cuma diberi jabatan kecil oleh pamannya; yang kini naik takhta semenjak Ayah Sasuke meninggal, tetapi intuisiku tetap berkata Sasuke adalah sebenar-benarnya calon penerus yang baik dan sah, dan aku baru saja lalai karena hendak tidur di saat harus menjaga kamarnya!

Jadi melepas diri dari keinginan duniawiku, buru-buru aku melompat turun dari kursi dan menolehkan pandang ke arahnya. "Apa latihannya akan dimulai lagi, Tuanku?" tanyaku.

Sasuke yang masih duduk di ranjang sejenak terdiam, lalu terkekeh kecil.

"Aku menyuruhmu tidur tapi kau malah bangun, apa volume suaraku terlalu besar dan malah berakhir mengganggumu?" kelakarnya buatku kikuk. Saat Sasuke mendongak, dapat kutemukan matanya yang masih terlihat lelah dan merah—tentu karena kami baru istirahat sebentar setelah lalui perjalanan panjang dan latihan yang seolah tak pernah habis—melirikku. Dia bangkit berdiri dan meraih pedangnya yang terpajan di penyimpanan. "Tidurlah, Juugo. Biar aku yang temani Izuna dan yang lain. Kau sudah melalui banyak babak pertarungan tadi, dan ini sudah hampir tengah malam."

"Maaf, Yang Mulia," selaku. Hina sekali diriku karena telah berani menyelanya, namun sungguh aku tidak mau tahu Sasuke kesepian di luar sana, terlebih diolok-olok oleh sepupu kurang ajarnya. "Tapi akan timbul pertanyaan jika Pangeran Mahkota tahu kepala pasukan tidak ada di arena," dalihku membawa-bawa Pangeran Mahkota, karena aku tahu dengan begitu Sasuke takkan menolak.

Dan benar saja, dia tersenyum kecil lalu menghela napas menyerah. Sasuke melangkah menghampiri liang tenda yang berfungsi sebagai jendela guna sejenak mengintip ke luar. "Gerimisnya masih belum benar reda," katanya, dia mengedarkan pandang. "Apa mereka akan baik-baik saja?"

Sasuke benar. Gerimis—yang kupikir tak pantas disebut gerimis karena rintiknya lumayan besar—masih menyambut tatkala kami keluar dari tenda, tanah-tanah berlumpur di tumpuan jadi semakin becek, dan perapian basah semua, bunyi kelontang pedang serta sorak-sorai orang-orang makin terdengar saat kami mendekati tanah lapang. Sekitar lima puluh meter tidak jauh dari tempat tenda-tenda kami berdiri, kuperhatikan latihan—yang sebenarnya adalah pertarungan bertajuk kompetisi timpang guna memuaskan hasrat Pangeran Mahkota sudah dimulai lagi.

The Knotted Chain of LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang