Healing — O2
•••
Nyaris terjadi di setiap malam, suara detik jarum jam yang mengiringi nyenyat dalam ruangan seolah sudah menyerupai belah pisau yang terus mengoyak tempurung kepala, mengeruk segulung ingatan lama serta dukanya guna kembali dibawa paksa ke permukaan. Sudah tiga tahun berlalu namun nyatanya semua masih hampir terasa serupa seperti minggu pertama setelah pemakaman. Kalau-kalau ada yang bertanya; apa tak lelah? Tentu saja lelah. Pula sejujurnya, ia juga ingin sembuh, ingin membiarkan semua yang telah terjadi berlalu, ingin menutup tahun demi tahun tanpa perlu lagi melihat ke belakang—tanpa perlu lagi mau larut mengingat mereka yang telah lama dikubur semesta.
Tetapi—Sasuke mendengus. Apa-apaan dengan istilah; kalau katanya waktu bisa menyembuhkan segalanya?
Menyugar surai sekali, bangkit dari baring karena tak kunjung bisa menyelami mimpi, sejenak meratapi getir ranjangnya yang sudah lama tak lagi terasa sehangat pendar mentari, lantas Sasuke menyeret tungkainya yang mendadak terasa luar biasa berat melangkah menuju pintu kaca, menggesernya, membiarkan angin malam berembus merangsek masuk tanpa permisi; menerpa surai dan kulit wajahnya.
Termenung, pria tersebut berdiri kaku di atas balkon seraya menatap kosong pada bayangan sekumpulan bunga magnolia yang membias di atas permukaan air kolam. Tampak bersinar lantaran malam ini agaknya juga bintang sedang berkenan turut mengisi cakrawala—yang entah mengapa makin hari makin terasa hampa, decak kagumnya terhadap celah nirwana yang dulu kerap didambanya seolah lindap perlahan-lahan, atau barangkali karena mungkinkah? Mungkinkah ia juga akan runtuh? Sebagaimana hidupnya yang temaram?
"Sebab Ayah seperti sudah tak lagi peduli."
Taka. Taka.
Ah, kenapa? Sasuke menggigit bibir bawahnya gamang. Menggenggam railing erat. Apa yang salah? Ini bukan untuk yang ke pertama kalinya memang ia melalui adu pembicaraan pelik dengan sang putra. Tapi pengakuan yang Taka lesatkan siang hari tadi benar-benar baru didengarnya. Perihal—tak peduli? Entah dari mana awal mula pemikiran tersebut sampai bisa sempat mengganggu kepala anaknya. Sukses membuat Sasuke jadi tenggelam dalam lara, juga gelisah.
Tidak peduli apanya? Siapa yang tak peduli? Sasuke masih terus selalu menjalankan tanggung jawabnya bahkan hingga kini. Ia selalu memerhatikan pola hidup putranya. Mengantar dan menjemput Taka—well, ya, meski poin untuk menjemput kalau sempat lantaran ia harus bekerja. Sasuke juga tak pernah main melepaskan tugasnya guna terus memenuhi sokongan hidup Taka. Apa lagi yang salah? Memejamkan mata, Sasuke mengerang frustrasi, "Apa lagi yang harus kulakukan?"
"Kau harus mendengarkannya, suamiku."
Jangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Knotted Chain of Letters
Fanfiction[short-collection] Taka menghitung sebanyak lebih dari satu malam sudah Liliene bertandang dan kerap berulah di rumahnya. • Kumpulan Fanfiksi Pendek SasuSaku • ⚠ - PG-18+ [potentially sensitive for some reasons.]