cautionary.
disturbing content. please, leave this one if you can't accept gory scenes, thanks.---
Misinformation
•••
Senin pertama di musim gugur, pagi yang lembap, 1984. Aku menatap sekujur tubuhku yang telah basah.
Mau tahu sebuah cerita?
Broken home itu menyakitkan.
Aku tak pernah menyalahkan mereka yang berkata kalau pada fase tersebut memang terasa menyakitkan. Dulu, aku juga sempat pernah membayangkan mimpi buruk macam apa yang akan aku dan adikku lalui jika Ayah dan Ibu sampai akan membiarkan bahtera rumah tangga mereka berakhir tenggelam ke titik tengah pusaran laut seperti perceraian.
Rumah yang akan terbagi menjadi dua. Komunikasi yang takkan lagi terjalin baik. Salah-salah pergi liburan, sarapan bersama dalam suasana hangat pun pasti sudah bukan lagi suatu rutinitas yang mungkin kami lewati di setiap pagi. Juga jangan lupakan anggota keluarga seperti bayi-bayi baru—entah dari pihak Ayah atau Ibu kalau kalau mereka menikah lagi dengan orang lain—yang pastinya akan menjadikan harapan kami tentang bisa kembali bersatu cuma angin malam yang makin sulit untuk digapai.
Satu dari sekian masa depan mengerikan tersebut tentu bukanlah titik buntu yang semua anak di dunia ini inginkan. Bahkan aku. Aku yang dulu lebih tepatnya—pula sempat tidak mengharapkan sebuah perpisahan macam itu terjadi, setidaknya tidak untuk keluarga kami.
Jika tak kutemukan Ayah yang kerap marah, jika tak kutemukan Ayah pulang selalu membawa frasa yang bisa buat pertengkaran kembali meradang, juga jika tak kutemukan beliau kerap mencekik istrinya sendiri hingga pucat-barangkali harapan tersebut akan terus kugantungkan selayaknya polaris yang selalu bersinar terang di langit malam sana.
Namun, kini, lesap sudah. Entah sejak kapan aku mulai membenci kalimat Ibu yang seperti, "Tidak apa-apa, ini hanya sebentar. Hubungan Ibu dan ayahmu pasti bisa kembali pulih, Itachi. Ibu akan terus berjuang demi kau, demi Sasuke, demi kita semua." — sungguh, aku tak mengerti mengapa Ibu masih dapat bicara begitu dengan senyum tersungging selepas patriarki iblis itu—iya, ayahku—masih saja kerap memukulinya dengan gagang sapu bahkan menendangnya kesetanan sampai tersudut di dapur.
Aku pula tak paham (entah mungkin Ibu memang punya hati sekeras batu) sebab tak peduli meski sudah banyak luka hasil dari tangan-tangan Ayah telah cecapi mental, hati, maupun fisiknya, namun Ibu masih saja bersedia akan terus membukakan pintu rumah selepas Ayah minta maaf yang telah kuyakini masanya akan lindap tak lebih barang dari satu malam.
Ayah sok 'menyesal' kebetulan memang cuma sedang ingin pulang ke rumah karena lapar, karena haus selangkangan dan lelah setelah gagahi proletar murah di luar sana. Selain piawai buat alasan, lelaki itu juga bukan tukang gaslighting gadungan, asal kau tahu. Karena alasan tersebut pula mungkin kutemukan dalam sepertiga malam Ibu kerap berakhir menangis berulang kali malah salahi diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Knotted Chain of Letters
Fanfiction[short-collection] Taka menghitung sebanyak lebih dari satu malam sudah Liliene bertandang dan kerap berulah di rumahnya. • Kumpulan Fanfiksi Pendek SasuSaku • ⚠ - PG-18+ [potentially sensitive for some reasons.]