Terasa Asing

60 10 6
                                    

Jarum jam di ruang tentor menunjuk angka sembilan ketika Asih melangkah keluar. Setelah berpamitan terlebih dulu pada dua rekannya yang masih berkemas. Dua rekan lainnya sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan.

Dengan tergesa kaki terbungkus flatsoes itu melewati koridor yang mengarah ke pintu utama. Di ujung tangga, ia melemparkan senyum saat berpapasan dengan murid-murid bimbel yang baru turun dari lantai dua. Asih terkesiap ketika matanya menangkap sosok Pram sedang berbincang dengan tukang parkir. Melihatnya keluar dari gedung bimbel, lelaki itu melambaikan tangan. Setelah mengatakan sesuatu pada si tukang parkir, Pram bergegas menghampirinya.

“Hai, Mas,” sapa Asih setelah lelaki itu berdiri di hadapannya. Kekacauan hatinya sepanjang hari ini sirna seketika dengan kedatangan Pram.

“Hai,” balas Pram, “Sudah makan?”

Asih menggeleng. Senyum terulas di bibirnya. Wika benar, tadi siang Pram hanya masih kesal. Pada akhirnya lelaki itu mengerti kondisinya sekarang. Buktinya malam ini ia datang dengan raut wajah yang tampak berbeda. Pengertian memang salah satu hal yang harus dimiliki setiap pasang. Jika tidak, bagaimana mungkin sebuah hubungan bisa berjalan baik.

“Mie ayam dulu?” tawar Pram. Matanya mengerling ke kedai mie ayam di seberang jalan.

“Mmm ....” Asih menimbang-nimbang. Sejak tadi ia belum menelepon panti, memastikan adik-adik asuhnya baik-baik saja. Namun, kalau ada apa-apa pasti Sumi sudah meneleponnya. Tetangga di belakang gedung panti yang selama ini membantu Ningsih menangani urusan dapur itu dimintanya tidak pulang pulu karena ia harus mengajar sampai malam.

“Harus cepat pulang?” Suara Pram sedikit mengagetkan Asih.

Perempuan itu lekas menggeleng. Ia tak mau menambah kekesalan Pram. Tak apa ia mengalah kali ini, toh hanya makan mie ayam. Tak akan memakan waktu lama. “Ayo, Mas!” Asih lebih dulu mengayunkan kaki. Di sebelahnya Pram menyejajarkan langkah.

Kedai mie ayam di seberang gedung bimbel tidak terlalu besar. Namun, tempatnya cukup nyaman. Dan, yang paling penting bersih. Karena tak peduli seenak apa pun makanan yang dijual, kalau si penjual tidak menjaga kebersihan pastilah pembeli enggan untuk mampir.

Suasana kedai mie malam ini terbilang ramai. Lima meja yang tersedia sudah terisi. Pembeli di salah satu meja masih menunggu pesanan, sedangkan empat meja lainnya sudah menikmati mie sambil sesekali berbincang dan tertawa-tawa. Tampak ada beberapa pembeli yang memilih menikmati makanannya sambil berduaan di dalam mobil. Asih dan Pram memilih duduk di meja dengan dua kursi di sudut ruangan.

“Pernikahan kita penting nggak sih buat kamu?” tanya Pram di akhir suapannya.

Asih nyaris tersedak mendengarnya. Buru-buru ia meraih gelas teh hangat, lalu meneguknya. “Tentu saja.” Ia menyahut lirih. “Mas kok nanya gitu?”

Pram meletakkan sendok, kemudian menyeka bibir dengan tisu.

“Kalau pertanyaan ini karena kejadian tadi siang, aku sungguh minta maaf,” sesal Asih. Ia ikut meletakkan sendok, tak lagi berselera menghabiskan makanan kesukaannya itu. “Semalaman Angga demam. Sebelum Ibu dirawat, dia memang berkali-kali begitu. Berat badannya turun terus. Aku khawatir, jadi pagi-pagi segera kubawa ke rumah sakit.”

Pram tak bersuara. Sesaat matanya mengarah pada Asih, lalu berpaling ke arah jalan raya. Kendaraan masih berlalu-lalang, mewarnai malam dengan deru knalpot dan suara klakson.

“Angga harus rontgen dan cek darah. Pasien banyak jadi antri sampai siang.” Asih melanjutkan penjelasan. “Setelah mengantarnya pulang, aku kembali ke ....”

“Kenapa nggak minta tolong Bi Sumi aja?” tukas Pram. “Dia digaji untuk mengurus panti, kan? Jadi urusan kita nggak tertunda.”

“Mas, Bi Sumi sudah repot dengan pekerjaannya,” balas Asih. “Urusan seperti ini memang biasanya Ibu atau aku yang urus. Lagipula untuk fitting baju, besok juga bisa, kan?”

“Masalahnya bukan soal hari ini atau besok, Kinasih,” ucap Pram dengan raut wajah masam. “Masalahnya adalah ... kamu lebih menomorsatukan orang lain daripada kita.”

Asih terkesiap. “Orang lain?” gumamnya dengan kening mengernyit. Ia menatap wajah tampan itu. Meski hanya sebagai rekan sekantor, ia sudah lama mengenal Pram, lelaki baik hati yang mampu membuat jantungnya selalu berdebar-debar. Namun, malam ini ia merasa asing pada sosok di hadapannya itu.

🌸🌸🌸

Di Tepian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang