Memiliki Ikatan

32 6 6
                                    

Suasana panti di pagi hari riuh oleh seruan dan rengekan saat anak-anak berusia enam hingga lima belas tahun itu dulu-duluan masuk kamar mandi dan mengantri sarapan. Anak-anak itu bukan tak diajari ketertiban, tetapi beberapa anak melakukannya untuk mengusili anak-anak lain hingga akhirnya mereka terpingkal-pingkal.

Melihat tingkah adik-adik asuhnya, Asih hanya menggeleng-gelengkan kepala. Senyumnya mengembang. Ia bahagia, halimun duka yang menyelubungi panti sejak Ningsih berpulang, kini berangsur sirna. Hidup memang harus terus berjalan. Ia dan seluruh penghuni panti tak mungkin terus bersedih.

“Mbak, kemarin ada telepon dari Yayasan Permata Hati dan staf Pak Harlan.” Sumi menghampiri Asih yang sedang berada di ruang tamu. Selain satu set sofa warna cokelat tua, di sana ada sebuah meja kerja, tempat Asih membuka beberapa buku tebal.

Perempuan itu mengangkat wajah, memandang Sumi yang berdiri tak jauh dari meja.

“Menanyakan keberlangsungan panti setelah Ibu tidak ada,” terang Sumi. “Staf Pak Harlan bilang kalau panti ini ditutup, donasi dari perusahaannya akan dialihkan ke panti lain.”

“Biar nanti saya telepon, Bi.” Asih tersenyum. “Makasih ya,” imbuhnya.

Sumi balas tersenyum, lalu berbalik. Namun baru beberapa langkah, perempuan bertubuh gempal itu memutar badan. “Mbak,” panggilnya.

“Ya, Bi,” sahut Asih. Ia mengalihkan pandang dari buku yang sedang ditekuninya.

“Panti ini nggak akan ditutup kan, Mbak?” tanya Sumi.

Di tempat duduknya, Asih menjawab pertanyaan itu dengan senyuman. “Kita lihat saja nanti ya, Bi.”

Sumi mengangguk, kemudian bergegas menuju ruang tengah, tempat anak-anak menikmati nasi goreng sebagai menu sarapan pagi ini.

Sepeninggal Sumi, Asih kembali memperhatikan buku-buku di hadapannya. Daftar donatur tetap, rincian donasi dari lembaga dan perorangan, bantuan dana sosial dari pemerintah, pengeluaran, semua dicatat dengan rapi oleh Ningsih. Tak ada sepeser pun donasi yang digunakan wanita itu untuk keperluan pribadinya. Ia selalu bilang uang pensiunan sang suami lebih dari cukup baginya.

“Mbak.” Sebuah suara kembali mengusik Asih. Perempuan itu menoleh. Reza. Seketika ia teringat kejadian di sekolah anak itu kemarin. Asih belum sempat berbincang dengannya karena semalam pulang di saat anak-anak panti sudah terlelap.

Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, lalu berpindah ke sofa. “Duduk, Za!” Ia menepuk sofa di sebelahnya.

Reza mendekat. Wajahnya yang menunduk terlihat takut-takut. “Aku minta maaf,” ucap anak itu lirih. “Aku ... emh, kemarin Via nangis karena dikatain anak buangan.”

“Dani bilang begitu?”

Reza mengangguk. “Aku kesal karena Dani ngulang-ngulang terus padahal Via sudah nangis, jadi kupukul saja biar diam.”

Asih menghela napas.

“Aku salah ya belain Via?” Kali ini Reza mendongak, menatap Asih. “Aku sayang sama Via. Ibu selalu bilang meski di sini nggak ada yang seibu-sebapak, tapi kita semua keluarga, diikat oleh kasih sayang.”

Kali ini Asih tersenyum. Di saat yang bersamaan, sepasang matanya beriak. “Nggak salah, Za, tapi ... cara kamu mukul Dani itu bukan cara yang baik. Kekerasan nggak akan menyelesaikan masalah, justru akan memunculkan masalah baru.”

Kening Reza mengernyit. Ia tampak berusaha memahami kata-kata Asih.

“Coba kalau kemarin orangtua Dani menuntut kamu dijatuhi sanksi, misalnya kamu diskors atau dikeluarkan, panjang urusannya, kan?” ujar Asih. “Lain kali kalau begitu lagi, kamu segela lapor ke guru saja!”

“Iya.” Reza menunduk. “Aku minta maaf ya, Mbak. Aku janji nggak akan ngerepotin Mbak lagi.”

“Ya udah, sana sekolah! Nanti kesiangan. Tuh, yang lain udah pada siap.” Asih memberi isyarat dengan dagu. Satu per satu anak-anak penghuni panti muncul dari ruang tengah, menghampiri perempuan itu untuk berpamitan.

Melalui kaca, Asih memperhatikan anak-anak itu melewati pagar. Reza keluar pekarangan paling akhir, beriringan dengan Via. Anak laki-laki yang tinggal sejak tiga tahun lalu saja merasa sudah memiliki ikatan dengan panti dan seluruh penghuni, apalagi dirinya. Dua puluh tahun ia di sini. Tempat ini bukan sekadar panti asuhan, tetapi keluarga. Seperti kata Ningsih, mereka keluarga. Bukan orang lain.

🌸🌸🌸

Di Tepian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang