Rasa yang Bertepi

41 6 2
                                    

Asih baru menyadari keberadaan Pram ketika memasuki pekarangan panti. Pencahayaan di teras tidak terlalu terang, tetapi tidak juga temaram. Yang pasti dengan pencahayaan seperti itu, kekesalan di wajah Pram cukup kentara.

"Mas nggak bilang kalau mau ke sini." Asih berjalan mendekat.

"Gimana mau bilang kalau hape-nya aja kamu matikan," sahut Pram.

Kening Asih mengernyit. Ia merogoh tas cangklongnya, mencari-cari ponsel. "Lowbat, Mas. Aku nggak ngecek hp sih dari tadi." Ia memperlihatkan ponselnya yang memang mati.

"Sama aja lah, intinya kamu nggak bisa dihubungi."

Asih menghela napas perlahan. "Aku ganti baju dulu sebentar ya, Mas," pamitnya. Tanpa menunggu jawaban Pram, ia segera masuk. Ganti baju, sebenarnya itu hanya alasan saja agar ia memiliki jeda sesaat. Ia tak mau terpancing untuk membalas keketusan calon suaminya.

Sebelum ke kamar, Asih terlebih dahulu menyapa adik-adik asuhnya di ruang tengah yang sedang belajar bersama. Ia mengingatkan mereka untuk segera tidur jika sudah selesai. Asih baru kembali ke teras setelah mencuci wajah dan berganti baju dengan rok terusan merah muda bermotif bunga-bunga kecil dan kerudung warna senada.

"Dari mana dulu?" tanya Pram. "Bukannya jadwal ngajar cuma sampai sore?"

"Tadi nemuin stafnya Pak Harlan dulu."

"Soal panti lagi?" Kening Pram mengernyit ketika melihat Asih mengangguk. "Aku udah bilang buat nyari orang buat kerja di sini."

"Iya, Mas, tapi nggak semudah itu. Nggak bisa sembarangan," jawab Asih. "Lagian kalau sudah dapat pun, aku nggak bisa lepas gitu aja. Aku harus memastikan semuanya berjalan seperti ketika dikelola oleh Ibu."

Kernyitan di kening Pram tampak semakin jelas. Mata teduhnya kini menyorot dengan tajam.

"Aku nggak mau anak-anak terlantar karena pengelolaan yang kacau-balau, Mas."

"Kamu terlalu sibuk ngurusin orang lain, Asih." Pram menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa nggak kamu tutup aja panti ini dan pindahkan anak-anak itu ke panti lain, jadi kita nggak usah ribut kayak gini."

Asih terperangah. Ditatapnya Pram dengan mata yang mulai beriak. "Mereka bukan orang lain, Mas. Ibu selalu bilang kami ini keluarga," katanya dengan suara bergetar.

Pram menghempaskan punggung. Wajahnya menengadah ke langit-langit.

"Mas nggak pernah tahu gimana rasanya jadi aku." Riak di mata Asih mulai menganak-sungai. "Kalau nggak ada Ibu. Kalau nggak ada rumah ini. Entah jadi apa aku ini, Mas. Anak-anak itu sama kayak aku dulu, sendirian."

Hening. Hanya terdengar suara gemericik air kolam di pekarangan dan tawa anak-anak dari dalam rumah.

"Ibu ingin panti ini tetap ada," ujar Asih. "Dan aku akan menjaga panti ini sebagaimana Ibu menjagaku, menjaga kami semua."

"Meskipun itu harus mengorbankan kita?"

Asih mengangkat wajah. Dengan mata basah dipandangnya Pram dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa. Dan, perempuan itu tetap diam ketika Pram beranjak pergi setelah mengucapkan selamat tinggal.

🍁🍁🍁

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Tepian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang