"Kinasih!”
Ayunan langkah Asih terhenti. Ia menoleh ke sebelah kanan. Matanya butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya menemukan si pemilik suara di antara lalu-lalang pengunjung mal.
“Kang Hardi,” sapa Asih pada lelaki berkemeja biru yang kini sudah berdiri di hadapannya. Penampilan lelaki itu tak berubah. Rambut hitamnya tampak rapi dengan gaya yang sama seperti dulu, tersisir ke belakang. Aroma oceanic menyelusup lembut ke dalam indra penciuman Asih. Lagi-lagi aroma yang sama seperti dulu, ketika mereka sering bertemu dalam aktivitas kampus.
“Apa kabar?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Hardi dan Asih hampir bersamaan. Menyadari hal itu keduanya tertawa kecil. Gerakan tubuh keduanya sama-sama menunjukkan kegugupan.
“Sendirian?” Akhirnya Hardi mengganti pertanyaan. Bola matanya bergerak, mencari-cari orang yang mungkin sedang membersamai Asih.
“Iya, Kang.” Perempuan itu mengangguk. “Maksudku ... ada janji di kafetaria,” jawabnya sembari menoleh ke deretan gerai makanan.
“Oh ya.” Hardi mengangguk. Sepasang mata elangnya kini menatap Asih, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa terucapkan.
“Mmm ... Akang juga sendirian?” Jengah dengan tatapan Hardi, Asih memecah kebekuan dengan bertanya. Sebuah pertanyaan yang kemudian ia rutuki dalam hati, terlebih setelah Hardi menjawabnya.
“Sama ... istri.” Hardi memutar-mutar ponsel di tangannya. “Dia lagi di salon. Aku nunggu sambil melihat-lihat,” sambungnya.
“Oh.” Hanya itu yang bisa Asih katakan. Lidahnya mendadak kelu, tak tahu harus berucap apa. “Mmm ... kalau gitu, aku duluan ya,” pamitnya kemudian.
“Oh ya, aku juga mau ke atas. Katanya istriku sudah selesai.” Hardi mengacungkan ponselnya yang beberapa detik lalu memperdengarkan notifikasi pesan masuk. Lelaki itu melangkah mundur. “Senang bisa ketemu kamu lagi, Sih,” ucapnya sebelum kemudian berbalik menuju eskalator.
“Iya,” gumam Asih. Tentu saja Hardi tak mungkin mendengarnya. Lelaki itu sudah berada di eskalator yang bergerak meninggi. Tak menoleh lagi.
Asih tersenyum kecut. Ia segera mengusir potongan kenangan yang hadir di benaknya. Hidup bergerak maju. Tak ada gunanya memundurkan ingatan, terlebih jika hanya akan menguak luka. Tentang mereka sudah selesai ketika Hardi memutuskan tak melanjutkan hubungan setelah tahu Asih hanya anak angkat. Keluarga lelaki itu tak bisa menerima perempuan dari keluarga berantakan—ayahnya pergi dengan perempuan lain dan ibunya tak diketahui pergi ke mana. Jika begitu, Asih bisa apa? Ia tak mungkin bisa mengubah garis hidupnya.
***
“Duh, maaf, maaf, aku terlambat.” Seorang perempuan muda berambut curly muncul dengan napas terengah. Ia menyalami dan mendaratkan kecupan di kedua pipi Asih, kemudian beralih lima perempuan lain yang mengelilingi meja berisi beberapa jenis makanan dan minuman.
“Kebiasaan banget, sih.” Salah seorang dari lima perempuan itu mengomel.
“Iya, iya, maaf.” Naina, si rambut curly itu memajukan bibirnya yang berpulas lipstik merah muda. “Aku tuh baru dipromosikan jadi sekretaris bos besar, Kak, barusan ada meeting dadakan dengan klien dari luar negeri.”
“Wiiih, keren tuh,” timpal salah seorang lagi. “Gaji naik, dong.”
“Ya naik, tapi kesibukan juga jadi berlipat-lipat. Bayangin ya, Kak, ....” Naina kemudian bercerita dengan penuh semangat tentang kesibukan barunya di sebuah perusahaan ekspor-impor. Begitu pun Asih dan kelima perempuan lainnya. Mereka bertukar cerita sambil menikmati aneka hidangan yang tersedia. Sesekali tawa mereka berderai.
Naina, perempuan paling muda di antara ketujuh perempuan itu tampak sesekali merajuk manja, seperti adik bungsu pada kakak-kakaknya. Mungkin tak akan ada yang mengira jika mereka bertujuh tak memiliki ikatan darah. Kedekatan itu terjalin hanya karena mereka pernah tinggal di tempat yang sama, Panti Asuhan Al-Kautsar.
“Terus kabar panti gimana sekarang, Mbak?” Naina berpaling pada Asih. “Maaf ya aku belum ke panti lagi sejak Ibu meninggal.”
“Itu yang ingin Mbak bicarakan dengan kalian sekarang,” jawab Asih.
Keenam perempuan yang mengelilingi meja persegi itu saling bertukar pandang, kemudian menatap Asih yang tampak serius.
“Bulan depan Mbak tidak bisa tinggal di panti lagi.” Asih mulai bercerita. “Mas Pram sudah menyiapkan rumah untuk kami tinggali, jadi ....”
“Panti mau ditutup?” sela Naina.
“Itu tidak mungkin, Na.” Asih lekas menggeleng. “Ibu ingin panti tetap ada. Itu pesannya beberapa hari sebelum meninggal.”
“Lalu, apa yang akan Mbak lakukan sekarang?”
Asih menoleh pada perempuan berambut sebahu di sampingnya. Permintaan Pram untuk mencari orang lain untuk dipekerjakan di panti terngiang. “Mbak akan mencari orang lain untuk mengelola panti, Mbak tetap akan mengawasi tapi ....”
“Tapi kenapa, Mbak?” kejar yang lain.
“Pasti tidak mudah, kan? Bekerja di panti berbeda dengan pekerjaan pada umumnya. Tak sekedar menulis pemasukan dan pengeluaran, menerima kunjungan donatur dan mengajukan proposal bantuan sosial,” tutur Asih. Ia meraih air jeruk yang tak lagi hangat, meneguknya. “Bekerja di panti harus melibatkan hati, terutama ketika berhadapan dengan anak-anak.”
Keenam perempuan di sekeliling meja itu mengangguk-angguk, sepakat dengan ucapan Asih.
“Jadi kita tidak bisa gegabah. Jangan sampai anak-anak diasuh sama orang yang salah,” sambung Asih. “Sampai Mbak menemukan orang yang tepat, adakah di antara kalian yang bisa tinggal di panti untuk sementara waktu?”
Sekali lagi keenam perempuan itu saling pandang, lalu satu per satu menjawab pertanyaan Asih. Jawaban yang sebenarnya sudah Asih duga.
“Aku juga nggak bisa, Mbak.” Naina yang paling akhir bicara. “Seperti yang kusampaikan tadi, aku baru saja dipromosikan, pekerjaanku semakin padat. Meski tinggal di sana, akan sulit sekali aku membagi waktu. Maaf ya, Mbak,” sesalnya. Ia menangkupkan telapak tangan di depan dada.
Asih tersenyum tipis. “Iya, Mbak mengerti. Nggak apa-apa.”
Untuk beberapa saat meja panjang itu berubah hening.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...