Matahari nyaris tenggelam ketika Honda Supra yang Asih kendarai memasuki pekarangan panti. Hari ini ia mulai mengajar lagi. Lebih cepat dari waktu libur yang sempat ia ajukan. Asih pikir menyibukkan diri akan membuatnya jauh lebih baik.
Sebelum tangan Asih sempat menyentuh gagang pintu, seseorang sudah terlebih dahulu membukannya dari dalam. Reza muncul diikuti teman-temannya. Anak laki-laki sudah rapi memakai peci dan sarung. Begitu pun dengan anak perempuan. Mereka hendak mengaji ke mesjid yang berada tak jauh dari panti.
“Angga dan Kak Mira mana?” Asih memperhatikan wajah anak-anak yang menyalaminya. “Nggak ikut ke mesjid?”
“Kak Mira nungguin Angga, Mbak,” jawab Reza sembari membenahi letak peci putihnya. “Sejak pulang sekolah badannya panas tinggi.”
Kening Asih mengernyit. “Ya sudah, kalian berangkat sana! Nanti keburu azan. Mbak lihat Angga dulu,” katanya seraya bergegas menuju paviliun, tempat yang disediakan untuk anak laki-laki.
“Tadi aku kasih obat penurun panas, Mbak,” lapor Mira. Anak perempuan beranjak remaja itu mencium tangan Asih.. “Panas banget soalnya, aku bingung, takut gimana-gimana. Mau telepon Mbak takut malah ganggu.”
Asih mendekati Angga yang terbaring di tempat tidur paling ujung. “Lain kali telepon aja, nggak apa-apa,” katanya sembari meraba wajah anak berumur tujuh tahun yang sedang merintih itu.
“Iya, Mbak,” angguk Mira.
“Kalaupun nggak bisa langsung pulang, seenggaknya Mbak bisa tahu keadaan di sini.” Asih bangkit dari duduknya. Ditepuknya bahu Mira pelan. “Sudah azan, Mbak salat duluan ya. Nanti gantian, Mbak yang jaga Angga,” katanya sebelum meninggalkan paviliun.
Malam itu Asih nyaris tidak tidur. Ia menunggui Angga, khawatir panasnya meninggi lagi. Dini hari, ketika Angga tampak lelap, ia beranjak untuk menunaikan salat malam.
Saat hendak kembali ke paviliun, di ambang pintu dapur langkahnya tertahan. Lamat-lamat terdengar sebuah percakapan. Dari celah pintu, ia melihat Mira dan Reza mengobrol sambil berdiri di dekat dispenser air minum.
“Jadi menurut Kak Mira panti ini akan ditutup dan kita dipindahkan ke panti lain?”
“Mungkin." Jawaban Mira terdengar bersamaan dengan suara air menimpa dasar ke gelas. “Ibu kan sudah nggak ada.”
“Kan ada Mbak Asih,” cetus Reza dengan mata melebar. Senyumnya mengembang sempurna. Namun, jawaban yang didengarnya dari bibir Mira menyurutkan senyum itu seketika.
“Mbak Asih kan mau nikah, Za. Nggak akan tinggal di sini lagi.”
“Kak Mira tahu dari mana Mbak Asih nggak akan tinggal di sini lagi?” Mata Reza menyipit. Tampaknya ia enggan mempercayai ucapan Mira begitu saja. “Siapa tahu Mas Pram mau tinggal di sini.”
“Mmm ... Kak Mira pernah dengar obrolan Mbak Asih dan Ibu, katanya Mas Pram mau mencicil rumah,” jawab Mira. “Mas Pram sih nggak mungkin lah mau tinggal di sini.”
Wajah Reza berubah keruh. Ia mengacak rambut ikalnya dengan kasar. “Aku nggak mau pindah. Aku mau di sini aja,” katanya.
“Mana bisa begitu!” protes Mira.
“Bisa dong,” ungkapnya sengit. “Kalau Mbak Asih nggak bisa ngurus kita lagi, nggak apa-apa. Kita bisa ngurus diri sendiri. Selama ini kan Ibu ngajarin kita buat mandiri, Kak.”
“Ngurus diri sendiri?”
“Iya, kita cari kerja,” tegas Reza sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Jualan kresek atau bantuin bawa belanjaan ibu-ibu di pasar, nyuci piring di warteg, bersihin makam ... apa aja, asal halal, ya kan?”
Mata Mira terbeliak.
“Yang penting kita bisa makan dan tetap tinggal di sini,” tandas Reza.
Di balik pintu, Asih menghela napas pelan. Ternyata tak hanya ibu angkatnya yang menginginkan panti ini tetap ada.
🌸🌸🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...