Asih melirik jam di pergelangan tangannya. Ia hanya punya waku satu jam setengah sebelum tiba jadwalnya mengajar siang ini. Rencana menyusul Pram ke tukang jahit diurungkannya. Lagipula jam makan siang sudah berakhir, lelaki itu pasti sudah kembali ke tempat kerja. Ia pun segera memacu motornya menuju SD Bina Bangsa, tempat Reza dan anak-anak panti lain menimba ilmu.
Anak berambut ikal besar itu masih berada di ruang bimbingan dan konseling ketika Asih datang. Ia terpekur sembari mengetuk-ngetukkan telunjuk kanan pada lutut. Sedangkan tangan jemari tangan kirinya meremas lengan kursi. Terkatupnya bibir dan rahang yang mengeras menandakan anak laki-laki yang duduk di bangku kelas empat itu sedang sangat marah. Ia sempat mengangkat wajah dan menatap Asih sekilas ketika gurunya mempersilakan perempuan itu masuk.
"Dani tadi langsung dibawa ke UKS, jadi saya baru bisa mendengar penjelasan dari Reza saja," terang perempuan di hadapan Asih. Nama Wina tertulis pada name tag yang tersemat di dadanya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Asih cemas. Hatinya berharap anak itu tidak kenapa-kenapa.
"Hidungnya berdarah, Mbak," jawab Wina. "Alhamdulillah tidak sampai patah."
"Syukurlah." Asih sedikit lega. Meskipun begitu, ia tetap saja was-was bagaimana jika orang tua anak itu menuntut agar pihak sekolah menjatuhkan sanksi tegas pada Reza.
"Kalau gitu, saya mohon izin melihatnya, Bu," pinta Asih. Setelah permintaannya dibalas dengan anggukan, ia mengalihkan pandang pada Reza. "Ayo, Za! Kita lihat temanmu, sekalian kamu minta ma ...."
"Nggak," tukas Reza. Mata tajamnya menatap Asih. "Aku nggak mau."
Mata perempuan itu terbeliak. "Za," bujuknya pelan. Ia berusaha menahan diri agar tak ikut gusar melihat sikap Reza.
"Aku nggak mau, Mbak." Anak itu bersikukuh.
Asih mengusap dahi. Pening. Penyakit Angga saja sudah menguras pikirannya, kini harus ditambah lagi masalah Reza.
"Reza menganggap tindakannya sebagai bentuk pembelaan diri karena Dani yang mulai mengejek," tutur Wina. Ia membagi pandang antara Asih dan Reza. "Makanya ia merasa tak perlu minta maaf. Tidak apa-apa, Mbak. Tak usah dipaksa. Biar emosinya reda dulu. Mungkin nanti di rumah Mbak bisa mengajaknya berbincang."
Asih mengangguk. Bersama Wina, ia kemudian menuju UKS. Setelah melihat keadaan Dani, juga bertemu dan meminta maaf pada orang tuanya, Asih kembali ke tempat Reza. Lalu, mengantarkan anak itu pulang.
"Mbak harus ke bimbel sekarang," kata Asih saat tiba di depan panti. "Masuk dan jangan ke mana-mana!" tambahnya sebelum melajukan motor. Ia harus mencari jalan tikus agar tidak terjebak macet dan bisa segera sampai ke tempatnya mengajar. Tak boleh terlambat.
Sejak masih duduk di bangku kuliah, Asih sudah menjadi tentor di sebuah bimbel ternama. Di sana pula ia berjumpa dengan Pram yang bekerja di bagian tata usaha. Tiga bulan lalu, lelaki itu mengutarakan niatnya untuk menikahi Asih. Mereka tidak berpacaran, hanya sekadar saling kenal sebagai rekan kerja. Nasihat Ningsih tentang tidak ada pacaran sebelum menikah benar-benar Asih pegang.
Motor Asih memasuki area parkir, beriringan dengan tiga kendaraan roda dua yang dikemudikan remaja berseragam putih-abu. Sebagian peserta bimbel biasanya langsung berangkat dari sekolah masing-masing.
Perempuan itu tersenyum dan membalas sapaan tukang parkir, kemudian bergegas masuk. Sepuluh menit lagi kelasnya dimulai. Setengah berlari ia menapaki tangga menuju lantai dua. Ketika melintasi koridor dilihatnya Pram berjalan dari arah yang berlawanan.
"Mas." Asih menyapa dengan napas sedikit terengah. Permintaan maaf dan penjelasan sudah berada di ujung lidah, tetapi urung diucapkan karena Pram hanya menaikkan sudut bibirnya. Lelaki itu berlalu tanpa sepatah kata pun.
*****
Dear teman-teman,
Maaf ya update-nya terlalu lama.
Karena ada cerita lain yang sedang saya garap juga, jadi konsentrasi sedikit terbagi, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...