Sepanjang hari ini langit muram. Serupa dengan wajah Asih dan seluruh penghuni Panti Asuhan Al-Kautsar. Kabut duka masih menyelimuti hati mereka. Keceriaan yang biasa tampak di sana seolah ikut terkubur bersama jasad Ningsih yang telah dikebumikan tiga hari lalu.
Sejak pulang dari pemakaman Asih ingin bergelung saja di atas tempat tidur. Menumpahkan kesedihan yang menyesaki dadanya di atas bantal. Namun, ia tahu menangis berlebihan adalah perbuatan yang diharamkan. Meratapi kematian Ningsih sama saja dengan tidak rida atas ketetapan Allah. Padahal semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Bagaimana mungkin ia tidak rela ketika Allah mengambil apa yang menjadi milik-Nya.
“Menangis tentu saja boleh, kita memang merasa kehilangan dan menyayangi Bapak,” ujar Ningsih saat mendapati Asih kecil sedang menangis sambil memberi makan perkutut kesayangan bapak angkatnya. “Tapi ada cara lebih baik yang bisa kita lakukan ketika mengingat Bapak, yaitu berdoa.”
Iya, berdoa. Itu yang Asih lakukan saat ini. Usai menunaikan salat Asar, ia tak lekas beranjak dari sajadah. Dengan suara bergetar ia melirihkan begitu banyak permohonan. Untuk Ningsih, Darma, dirinya, adik-adik asuhnya, dan panti asuhan.
“Kita juga bisa mengenang Bapak dengan terus mengamalkan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya semasa hidup,” sambung Ningsih kala itu.
Itu juga yang akan Asih lakukan untuk mengenang Ningsih. Ia harus menjaga panti asuhan agar tetap berdiri. Meskipun tahu, itu tak mudah baginya.
Dering ponsel terdengar tepat ketika Asih melipat mukena, lalu menumpuknya dengan sajadah. Pramudya, calon suaminya.
“Assalammu’alaikum, Mas,” sapa Asih sembari duduk di tepi tempat tidur.
Di ujung telepon terdengar suara bariton Pram menjawab ucapan salamnya, kemudian bertanya, “Gimana keadaanmu?”
Asih menjawab dengan helaan napas. Ia yakin Pram memahaminya. Kalau boleh jujur, bertambahnya hari membuat rasa kehilangan itu terasa semakin menebal. Disertai rasa penyesalan karena belum bisa membalas semua kebaikan Ningsih selama ini.
“Aku ngerti kesedihanmu, Kinasih,” kata Pram. Suara-suara yang terdengar di belakangnya menandakan lelaki itu masih berada di tempat kerja, ruang tata usaha di Bimbel tempat Asih mengajar. “Tapi berlarut-larut dalam kesedihan tentu tak baik, kan?”
“Iya, Mas,” angguk Asih.
“Aku tahu ini bukan saat yang tepat.” Suara Pram terdengar lagi. “Aku hanya ingin mengingatkan, masih banyak hal yang perlu kita persiapkan.”
“Iya. Aku tahu, Mas.” Asih mengangguk kembali. Berkali-kali ia mengiakan ucapan calon suaminya sebelum pembicaraan itu berakhir.
Pram benar. Memang masih banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk pernikahan mereka bulan depan. Sejak tiga bulan lalu mereka merencanakannya dengan sukacita. Namun kali ini, rencana itu membuatnya berada dalam dilema.
Asih menganjur napas sebelum bangkit. Sudah saatnya ia ke dapur, menyiapkan hidangan untuk makan sore. Saat meletakkan ponsel di atas meja, matanya tertuju pada beberapa brosur perumahan yang diberikan Pram. Salah satunya sudah mereka pilih sebagai rumah masa depan. Sekali lagi perempuan itu menganjur napas. Bagaimana caranya ia bisa menjaga panti jika nanti tak tinggal lagi di sini?
🌸🌸🌸🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...