Lanjut lagi yaa, teman-teman.
Selamat membaca :)
Suasana berubah lengang setelah satu per satu murid Asih meninggalkan ruangan. Asih masih bergeming di tempat duduknya. Ia mengarahkan pandang pada deretan bangku di hadapannya, tatapan kosong.
Selama dua jam mengajar ia mampu berkonsentrasi. Namun begitu pekerjaannya selesai, urusan panti kembali mengusiknya. Kali ini ditambah dengan sikap dingin Pram. Ia mengerti jika lelaki itu marah. Pesan singkat yang ia kirim, tidakkah Pram memahami keadaannya sekarang?
"Huy!" Panggilan disertai suara ketukan di pintu membuat Asih terperanjat. Saat menoleh ke asal suara, ia mendapati senyum Wita. Perempuan berkulit putih itu tak hanya rekan sesama tentor, tapi sahabat Asih sejak kuliah di fakultas ilmu pendidikan.
"Lagi ngajar siapa, Bu?" goda Wita. Kakinya melangkah masuk. Ia meletakkan buku dalam dekapannya di meja, lalu menarik kursi ke depan meja Asih. "Berantem menjelang pernikahan itu biasa. Aku juga dulu gitu," katanya.
Mata Asih menyipit. "Siapa juga yang berantem," kelitnya.
"Kalau nggak berantem, nggak mungkin lah yang satu wajahnya ditekuk, yang satu lagi bengong di kelas kosong." Wita mencebik. "Nggak takut kesambet apa?"
Asih tertawa kecil. "Nggak berantem, cuma ...."
Wita bersedekap, menunggu Asih meneruskan kalimat. "Cuma?"
"Salah paham, mungkin." Asih mengangkat bahu.
"Kalau gitu dilurusin, dong!"
"Udah, tapi baru lewat sms," sahut Asih. Suara langkah membuat wajah bulatnya berpaling ke arah koridor beberapa saat. Begitu pun Wita. Keduanya melambaikan tangan pada dua rekannya yang melintas. "Tadi kan aku buru-buru harus ngajar, tapi yaa gitu deh, sms-nya belum dibalas sampai sekarang."
"Eh, ngomong-ngomong masalahnya apa sih?" Wita baru sadar dirinya belum mengetahui masalah antara Asih dan Pram.
Asih menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan masalahnya. "Aku benar-benar lupa siang ini harus ke tukang jahit, Wit," pungkasnya.
"Yaaa gimana yaaa, kalau jadi Pram, aku juga pasti kesal sih," kata Wita. "Tapi aku juga ngerti gimana pontang-pantingnya kamu ngurusin panti."
Asih terseyum tipis. "Sejak kecil aku memang terbiasa bantu Ibu ngurusin panti, tapi sekarang semua harus kutangani sendiri."
"Sabar ya, Sih." Wita menepuk tangan Asih yang terlipat di atas meja. "Tadi mungkin Pram masih kesal, tapi aku yakin dia bakal ngerti."
"Semoga."
"Ya udah yuk turun!" ajak Wita. Ia menyampirkan tali tas cangklongnya ke pundak. "Kamu temui Pram biar masalahnya nggak berlarut-larut," imbuhnya.
Kedua perempuan itu meninggalkan ruangan. Sambil berbincang, mereka bersisian menyusuri koridor yang lengang. Jadwal bimbingan belajar baru akan dimulai lagi pukul tujuh malam nanti.
Tiba di lantai satu, Wita berbelok ke ruangan tentor. Sedangkan Asih meneruskan langkah menuju ruang tata usaha di sebelahnya.
"Bang Zaki, lihat Mas Pram nggak?" Mendapati meja calon suaminya kosong, Asih berpaling pada lelaki yang sedang menginput data pada komputer.
Zaki berpaling ke meja rekan kerjanya yang tampak sudah rapi. Matanya beralih pada sandaran kursi, jika belum pulang biasanya Pram menggantungkan tas di sana. "Kayaknya pulang, deh. Tuh, tasnya sudah nggak ada," tunjuknya.
"Ooh iya ya." Asih mengangguk. "Makasih yaa," ucapnya sebelum menarik gagang pintu. Ia dan Pram memang biasa pulang sendiri-sendiri. Kalaupun pulang bareng, lelaki itu hanya mengikuti motornya hingga tiba di panti. Namun biasanya jika salah seorang pulang lebih dulu, pastilah saling mengabari atau menitipkan pesan. Tidak seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...