Dua Anak Panti

229 17 14
                                    

"Dari hasil rontsen, Angga ini terinfeksi bakteri tuberculosis, Mbak," terang perempuan berjas putih di hadapan Asih.

Siang ini, sebelum berangkat mengajar Asih terlebih dahulu ke rumah sakit untuk mengambil dan mengetahui hasil rontsen Angga.

"Demam yang berulang tanpa penyebab yang jelas merupakan salah satu gejalanya. Seperti yang Mbak sampaikan, dalam dua minggu ini Angga berkali-kali demam," imbuh perempuan itu sembari meletakkan foto rontsen di meja.

Di tempat duduknya Asih tertegun. "Tapi Angga selama ini nggak ada batuk-batuk, Dok. Kalaupun pernah ya sebentar, minum obat biasanya sembuh."

"Tidak mudah memang mengenali gejala penyakit ini pada anak-anak. Kalau pada orang dewasa gejala utamanya batuk yang lama, sementara pada anak-anak biasanya gejalanya tidak khas, tapi bisa dilihat salah satunya dari permasalahan berat badan." Dokter kembali memberikan penjelasan. "Angga memiliki berat badan yang tidak cukup untuk anak seusianya."

Asih mengangguk-angguk. Wajah kuyu Angga melintas di benaknya. Anak itu memang lebih kurus dari anak-anak lain, padahal semua penghuni panti mendapatkan makanan yang sama. Tidak dibeda-bedakan. Hanya saja beberapa waktu lalu ibu angkatnya pernah bercerita tentang menurunnya nafsu makan Angga.

"Jadi pengobatan seperti apa yang harus Angga jalani sekarang, Dok?" tanya Asih.

"Yang pasti ada obat-obatan yang harus Angga minum secara teratur untuk kesembuhannya. Selama mengkonsumsi obat, sebulan sekali Angga harus kontrol selama enam bulan," jawab dokter. "Atau bisa juga lebih, tergantung perkembangan kesehatan Angga nanti."

"Enam bulan," ulang Asih pelan diikuti helaan napas.

"Ini resep obat yang harus diminum. Mbak harus memantau obat ini benar-benar ditelan, tidak dimuntahkan." Dokter menyodorkan lembaran kertas berisi nama obat yang harus segera Asih beli.

"Baik. Terima kasih, Dok." Asih mengulas senyum tipis. Setelah memasukan lembaran kertas itu ke dalam dompet, ia bergegas keluar. Di ruang tunggu, pasien lain menunggu giliran masuk.

Perempuan berjilbab hijau pupus itu menuju konter obat-obatan. Semua bangku terisi. Tampak satu-dua orang menunggu sambil bersandar pada tiang penyangga. Asih memilih menunggu di sudut, ada kursi plastik di dekat pot bunga. Sepanjang menunggu, pikirannya melayang. Panti asuhan, pesan terakhir Ningsih, rencana pernikahannya, Pram, semua datang silih berganti, hingga tak menyadari ponsel di dalam tas berdering berkali-kali.

Nama Angga dipanggil setelah Asih menunggu hampir satu jam. Bergegas perempuan itu mendekat. Saat memasukkan obat ke dalam tas, perempuan itu baru sadar ada beberapa panggilan tak terjawab dan pesan masuk. Sambil berjalan menyusuri lorong yang mengarah ke tempat parkir, ia membuka pesan-pesan itu. Salah satunya dari Pram.

= Di mana?
= Kamu lupa kalau hari ini harus fitting baju?

"Astaghfirullah." Asih menepuk kening. Ia segera melakukan panggilan. Beberapa kali, tak juga diangkat.

= Maaf aku lupa, Mas
= Aku ngambil hasil rontsen Angga
= Sekalian beli obat

Akhirnya Asih mengirim pesan. Hingga sampai di parkiran, pesan itu tak mendapat balasan. Ponsel berdering persis ketika ia hendak memasukkannya ke tas. Bukan Pram, tetapi wali kelasnya Reza.

"Mbak Asih, maaf jika ada waktu bisa datang ke sekolah?" tanya perempuan di ujung telepon.

"Baik, Bu." Asih menyanggupi. "Tapi kalau boleh tahu, ada apa ya?" tanyanya kebingungan.

"Mmm ... Reza memukul teman sekelasnya, Mbak."

Asih terkesiap. "Ya Allah, Reza," desisnya. Ia memejamkan mata seraya menghela napas.

*****

Di FB, cerita ini sudah tayang hingga part 10.

Adakah yang masih menunggu lanjutannya?

Di Tepian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang