1 | HER SHENANIGANS

31.5K 2.4K 490
                                    

DIDI menarik kopernya menuju teras sambil menunggu taksi datang menjemput. Sebuah ponsel ia jepit di antara bahu dan telinga. Setelah koper dan bawaan lainnya dikeluarkan, Didi mengunci pintu depan. Cewek itu kelihatan agak kerepotan. Namun, tak segaris pun ekspresi ia tunjukkan.

"Mau nunggu sampai kapan, Di? Nggak baik, lho, adik nikah ngelangkahin kakak. Masa kamu nggak malu kalo nanti di resepsi Arya ditanyain orang-orang?"

"Didi belum nemu urgency-nya nikah cepat-cepat, Bu," jawabnya dengan nada dan ekspresi datar. Memang begitu sifatnya.

"Nggak nemu urgency gimana, toh? Arya mau nikah! Masa nggak cukup?"

"Kalo Didi tetep nggak nikah, apa Arya nggak boleh nikah juga?"

"Kamu itu kok ngeyel, sih, kalo dibilangin orang tua?!"

"Suruh Arya nikahnya ntaran aja."

"Didi!"

Didi menghela napas lelah.

"Ibu ngehalangin kebahagiaan Arya kalo maksa Didi harus nikah duluan sebelum dia."

"Kamu bakal jadi bahan gunjingan orang-orang di resepsi adekmu nanti!"

"Nggak apa-apa, Bu. Didi masih dua puluh empat tahun lagian."

"Umurmu itu udah matang buat nikah, Di!"

"Pergaulan Ibu, kan, luas. Kenapa menstandarisasi umur menikah?"

"Ibu nggak nyetandarin apa-apa. Masalahnya, Arya itu mau nikah. Kamu belum. Jangankan calon suami, pacar aja nggak punya. Mau alasan apa? Sibuk ngurusin toko bukumu yang sepi itu? Sibuk ngurusin binatang-binatang kamu? Sibuk ngurusin kebun?" Omelan ibu hanya berjeda saat beliau mengambil napas. "Kalo kamu punya suami, Arya nggak bakal digunjing orang-orang. Pernikahannya bakal lancar. Ibu nggak kepikiran. Di, keluarga kita nggak ada sejarahnya nikah ngelangkahin saudara lebih tua."

"Biar Didi sama Arya jadi pelopornya."

"Ibu lagi serius, Di!"

"Didi juga."

Ibu menghela napas panjang, kedengaran lelah dan frustrasi. Didi tidak tahu bagian mana dari topik mereka yang membuat ibu jadi sefrustrasi ini.

"Gimana Rafael? Dia single, toh? Kalian udah temenan lama banget."

"Jangan mulai, Bu."

"Malah bagus, 'kan? Rafael itu kelihatan suka sekali sama kamu. Kenapa kalian nggak pacaran? Dia masih sering ke rumah kamu?"

"Hidup Didi nggak selonggar itu buat mikirin cinta aja."

Hening cukup lama sampai Didi sempat cemas teleponnya diputus oleh ibu. Kemudian pertanyaan lain muncul.

"Kamu ini masih normal, kan, Di? Masih suka laki-laki, 'kan?"

"Didi normal, kok." Ia dapat mendengar ibunya mengembuskan napas lega di seberang.

"Coba deh sekali-sekali kamu itu bahagiain Ibu, Di. Cari pacar, calon suami justru lebih bagus. Ibu pengen kamu seenggaknya punya gandengan waktu resepsi Arya nanti."

Didi tidak menjawab. Tanpa sadar, ia sudah berjalan-jalan keluar dari teras, menuju rumah kosong di sebelah. Rumah kosong dua lantai itu kini punya pemilik. Beberapa hari lalu, kru pindahan hilir mudik untuk bongkar muat perabotan. Bu Imah yang didelegasikan sebagai pengawas. Pemiliknya sendiri belum datang. Mungkin hari ini atau besok. Sekalipun datang, Didi juga tidak ada niat untuk menyambut.

Smitten [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang