4 | CARPE DIEM

12.2K 2K 382
                                    

MESKI punya penghasilan sendiri, sampai detik ini Didi masih belum memiliki kendaraan pribadi. Jangankan mobil, motor saja tidak punya. Satu-satunya alat transportasi yang dimilikinya hanya sebuah sepeda gunung. Itu pun jarang digunakan.

Untungnya, tempat kerja Didi berlokasi di dekat pintu masuk kompleks. Jaraknya tidak jauh dari rumah. Tempat kerja Didi itu berupa sebuah bangunan ruko yang dibelinya beberapa tahun lalu lewat lelang bank. Ruko itu dulunya dijadikan jaminan pinjaman salah satu nasabah bank sebelum akhirnya gagal bayar dan dilelang dengan harga murah. Bapak yang memberinya informasi tentang ruko itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibu. Bapak juga yang berinvestasi kepadanya agar bisa membeli ruko itu secara tunai.

Karena lokasi yang tidak jauh, Didi cukup berjalan kaki selama kurang dari sepuluh menit menuju ruko yang kini telah diubah menjadi sebuah toko buku. Berbeda dengan jaringan toko buku milik orang tuanya, toko Didi khusus menjual buku-buku klasik atau langka. Karena itu, pelanggannya kebanyakan berasal dari golongan kolektor atau orang-orang yang punya ketertarikan di bidang sastra.

Pagi itu, Didi menarik sebuah koper berat yang belum ia bongkar sejak pulang dari India. Setelah festival Yatra berakhir, Didi punya waktu dua hari untuk berburu buku-buku incarannya. Buku-buku itu sulit didapatkan sehingga ia minta bantuan beberapa kenalan agar pada hari yang ditentukan, Didi tinggal bertransaksi tanpa repot-repot mencari lagi.

"Mbak Didi!"

Didi menoleh karena namanya dipanggil. Tiga orang ibu-ibu sedang berkumpul di bawah pohon mangga dekat taman bermain. Mereka duduk-duduk sambil mengobrol ketika melihat Didi lewat. Karena panggilan itu, Didi terpaksa menghentikan langkah.

"Lama nggak keliatan, ke mana aja?" ujar salah satu ibu rumah tangga yang dikenal Didi sebagai Bu RT.

"Saya ke India."

Mereka saling berpandangan karena mendengar jawaban Didi barusan. "Acara apa, Mbak?"

"Ikut festival agama," jawab Didi.

"Sejak kapan Mbak Didi jadi Hindu?"

Didi tidak menjawab. Tanpa berpamitan, ia melanjutkan perjalanannya.

"Ya ampun, berapa tahun tinggal di sini tabiatnya nggak berubah-berubah!" gerutu Bu RT setelah punggung Didi menjauh.

"Saya nggak pernah liat Mbak Didi sholat di masjid, sih." Ibu nomor dua coba mengingat-ingat. "KTP-nya agama apa, sih, Bu?"

"Kosong. Suami saya nggak pernah datengin dia buat konfirmasi. Kata suami saya, agama itu perkara privasi orang sama Tuhannya. Kalo mau kosong, ya, sudah kosong."

"Kok, begitu, Bu? Mbak Didi kafir?" Ibu nomor tiga ikut nimbrung.

"Hush! Kok, gampang ngafirin orang, sih?"

"Kalo kosong berarti dia nggak percaya adanya Tuhan."

"Tapi, kan, kita semua denger kalo Mbak Didi ke India ikut festival agama. India mayoritas Hindu, lho."

"Di India sebelah mana? Di sana juga banyak yang Islam."

Bu RT mulai risih dengan obrolan tentang agama ini. "Sudah, sudah. Jadi bahas agama begini. Itu tadi, lho ... gimana? Arisan minggu depan lebih baik diundur hari Sabtu aja, gimana? Kalo hari Jumat itu banyak yang nggak bisa dateng. Kan, Bu Sasono sama Bu Ros kerja. Masa ditinggal?"

"Saya setuju hari apa aja, Bu. Tapi, saya pernah lho liat Mbak Didi tatoan."

Bu RT dan ibu nomor dua menajamkan telinga. "Tato?"

Topik arisan bisa ditunda sejenak.

Ibu nomor tiga, si Sumber Informasi, mengerling penuh arti. "Saya pernah beli sayur kale hidroponik dari Mbak Didi. Setiap dia berkebun, nggak pake baju tertutup kayak biasanya."

Smitten [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang