8 | TAMU DIDI

10.6K 2K 142
                                    

SEBUAH pick up truck berhenti di pekarangan rumah Didi. Cewek itu sempat melihat dari balik jendela. Ketika melihat lelaki yang dikenalnya turun dari kursi pengemudi, ia buru-buru keluar rumah. Rafael tersenyum sambil membuka lebar-lebar kedua tangan. Didi merasa hampir remuk karena dipeluk oleh laki-laki besar dengan lengan penuh otot seperti milik Rafael.

"Rasanya udah kayak bertahun-tahun nggak ketemu kamu!" Rafael mengangkat tubuh Didi ke udara, membuat cewek itu tertawa. Ia menepuk punggung Rafael, minta diturunkan. "Bawa oleh-oleh dari India, nggak?"

Didi mengangguk. "Ada manisan, teh, sama miniatur Taj Mahal. Terserah mau ambil yang mana."

"Itu doang?" Rafael mengernyitkan hidung. "Lain kali kayaknya aku kudu ikut kamu, deh. Biar bisa milih sendiri mau minta oleh-oleh apa."

"Kalo kamu ikut, ya, bukan oleh-oleh lagi namanya." Didi menghampiri Hilux Rafael yang bagian kap belakangnya sudah dipenuhi banyak kayu. "Mebel lagi sepi?"

Rafael menggeleng. "Justru sebaliknya. Hari ini tutup lebih awal. Kalo nurutin klien malah nggak ketemu-ketemu ntar. Kangen, tau!"

Laki-laki itu meremas gumpalan rambut Didi yang siang ini diikat tinggi dengan gaya cepol longgar. Cewek itu mengenakan seragam berkebun warna pastel dan membuat permukaan kulit yang tertutup tato jadi terekspos. Gambar ujung pagoda di tengkuknya menunjukkan kalau tato di belakang punggung Didi berukuran cukup besar.

"Mana kacamatamu?"

"Rusak. Masih dipesen. Besok lusa jadi."

Rafael mengibaskan tangannya. "Sering-sering aja pake lensa. Lebih manis kalo begini. Keliatan mukanya." Rafael menunjuk gambar kepala Dewa Ganesha di belakang bahu Didi. "Nambah tato lagi?"

Gambar dewa umat Hindu yang berkepala gajah itu dibuat amat detail. Setiap ornamen dan simbol padat memenuhi permukaan kulit. Bentuknya tak terlalu besar. Diameternya lebih kecil dari telapak tangan, tetapi tetap saja mencolok, apalagi di kulit Didi yang putih pucat.

"Kok nggak bilang-bilang?"

"Sengaja nunggu kamu liat sendiri. Bagus?"

Rafael mengangguk tanpa pikir panjang. "Tato kamu nggak ada yang gagal."

Yang dikatakannya tidak berlebihan. Ia dan Didi sama-sama penyuka tato sejak masih SMA. Bagi mereka, tato bukan sekadar simbol sok jagoan. Banyak orang menganggap kegiatan merajah tubuh sebagai bagian dari metode penyiksaan diri, tidak mensyukuri apa yang sudah diciptakan oleh Tuhan. Orang-orang bertato pun memiliki label buruk di mata masyarakat. Apalagi jika perempuan yang punya. Bagi Rafael, tato itu seni. Tidak kurang dan tidak lebih. Sementara itu, bagi Didi, tato merupakan wujud pengalaman spiritualnya.

"Tapi, aku paling suka ini, sih." Rafael meraih salah satu lengan bagian dalam Didi yang terdapat tato tulisan sanskerta. "Sama yang di punggungmu. Itu ter-epic."

Lelaki itu tersenyum lebar. Kalau saja Didi suka memamerkan tatonya, Rafael betah memandangi punggung Didi lama-lama. Tato, maksudnya.

"Udah makan belum?"

"Belumlah!"

"Mau dimasakin apa?" Didi bertanya sambil melepaskan simpul yang menahan kayu-kayu di kap belakang mobil. Rafael sigap membantu.

"Cook me rocks, I'll still eat it."

"Oke."

"Ya, jangan dimasakin batu beneran jugalah, Di!" Rafael cemas kalau Didi benar-benar memungut batu dari kebun, lalu memasaknya sebagai menu makan siang. Bukan tanpa alasan ia mencemaskan hal itu terjadi. Selera humor Didi tidak biasa.

Smitten [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang