3 | BERTEMU LAGI

1.4K 118 4
                                    

"YOU look like a Tarzan."

Zevanya memandangi Darren dari atas sampai bawah dengan hidung berkerut aneh. Ayahnya baru saja keluar dari kamar yang sudah mirip dengan goa karena saking gelapnya. Rambut gondrong Darren acak-acakkan. Kaus abu-abu yang sekaligus jadi seragam kerja dan baju tidur semalam itu bolong di bagian dekat kerah. Lingkaran hitam membingkai kedua mata. Zevanya benar. Darren memang sudah mirip Tarzan. Tinggal bertelanjang dada saja yang belum.

"Kopi ...." Darren bergumam antara sadar tak sadar. Bu Imah yang sibuk memasak sarapan di dekat mereka tak sengaja mendengar.

"Aduh, tunggu sebentar, Pak! Saya belum bikinin Pak Darren kopi. Sebentar, sebentar!" Wanita paruh baya itu hampir mematikan kompor ketika Darren mengangkat satu tangannya.

"Saya bikin sendiri." Dengan mata separuh tertutup, Darren pergi ke countertop, di mana mesin kopinya berada.

Zevanya memerhatikan Darren dari meja makan. Ayahnya itu tetap berdiri dengan mata terpejam sambil menunggu kopi jadi. Tangan kanan Darren menggenggam gulungan partitur yang penuh coretan. Ayahnya itu pasti begadang semalaman untuk menyelesaikan album. Biasanya, musisi mengambil jeda untuk berlibur agar dapat inspirasi. Minimal ke tempat terpencil atau desa-desa indah. Darren pengecualian. Lelaki itu betah mengurung diri di dalam kamar gelap yang kedap suara untuk menciptakan karya-karya yang mencengangkan industri permusikan. Zevanya sering mendengar semua orang memuji ayahnya genius musik. Jika saja mereka lihat bagaimana keseharian Darren.

Sembari menunggu kopinya jadi, Darren meraih wadah gula di dekat tangannya. Ia memasukkan satu sendok karena merasa sedang tidak ingin minum kopi pahit pagi ini. Sesekali ia mengusap wajah, berusaha membangunkan dirinya sendiri.

"Mau disiapin nasi juga, Pak?" Bu Imah meletakkan mangkuk besar berisi gulai daging ke tengah-tengah meja makan. Hidung Darren dan Zevanya sama-sama berkerut kala mencium aroma kolaborasi rempah-rempah di gulai.

"Pagi-pagi begini makan itu?" Suara Darren separuh ngantuk saat mengatakannya.

"Pagi?" Bu Imah mengernyit.

"Daddy, ini udah jam setengah dua belas siang. Daddy aja yang baru bangun." Zevanya ikut menyahut sambil memutar bola mata.

"Oh ...." Lelaki itu membawa gelas kopinya yang baru jadi ke meja makan. "Piringnya boleh, Bu. Tapi, saya abisin kopi dulu." Baru satu seruputan, Darren menyemburkan kopinya ke lantai, membuat Bu Imah dan Zevanya terkejut.

"Kenapa, Pak?" Bu Imah buru-buru mengulurkan serbet untuk Darren.

"Kopi saya kok asin, ya?"

Zevanya bangkit berdiri untuk melihat wadah gula yang tadi dipakai Darren untuk membuat kopi. Anak itu menghela napas lelah. Ia menunjukkan wadah yang dianggap gula oleh Darren.

"It's written salt, Daddy." Di permukaan stoples kecil yang terbuat dari kaca itu ada label bertuliskan garam. Pantas asin. Zevanya meletakkan lagi wadah itu ke tempat semula. "Lebih baik Daddy mandi, deh! Bau apek! You really are a mess!"

Sindiran putrinya membuat Darren mengendus ketiaknya sendiri. Ia lupa kapan terakhir kali mandi. Mendadak ia malu sendiri. Tidak sikat gigi dan langsung duduk di meja makan seperti orang tak beradab. Ia tak mau membuat dirinya jadi contoh buruk untuk Zevanya. Beruntung putrinya itu dibesarkan oleh orang tuanya yang terkenal disiplin. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bangkit dari kursi menuju kamar mandi.

"Masa mau bawa partitur buat mandi?"

Celetukan Zevanya menyadarkan Darren. Tadinya ia hampir menutup pintu kamar mandi saat menyadari kalau kertas partitur hasil kerjanya berhari-hari masih terbawa. Buru-buru, ia mengembalikan kertas partitur itu ke dalam kamar sebelum pergi mandi.

Smitten [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang