Petak Umpet

10.4K 767 53
                                    

Langit sudah gelap, menandakan hari yang sudah malam. Tiba-tiba muncul keinginan untuk buang air kecil. Aku bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan ke luar kamar. Kulihat kakak sedang asik menonton televisi. Ingin sekali memintanya mengantar ke kamar mandi, tapi jawabannya pasti tidak mau.

Rumahku hanya memiliki satu kamar mandi yang terpisah dari bangunan utama. Letaknya di samping gang menuju lapangan. Jika ingin pergi ke sana, bisa melalui pintu depan lalu berjalan melewati samping rumah. Bisa juga, berjalan ke dapur dan melewati pintu belakang. Tentunya aku memilih melewati dapur.

Dengan langkah cepat aku pergi ke dapur, lalu membuka pintu belakang. Ada angin bertiup, hembusannya terasa dingin dan menampar wajah. Agak ragu, aku melangkah ke luar. Lalu berdiri sejenak di depan pintu kamar mandi. Perlahan kubuka pintu kamar mandi.

"Aman, tidak ada apa-apa," ucapku dalam hati.

Aku  masuk ke dalam kamar mandi, tanpa menutup pintunya. Ada satu hal yang paling menyebalkan ketika buang air kecil, sudah pasti posisiku berdiri akan menghadap lapangan. Tepat di atas WC jongkok, ada lubang ventilasi berukuran kecil. Melalui lubang itu aku bisa melihat kondisi lapangan dengan jelas.

Takut, kali ini aku memilih untuk buang air kecil sambil jongkok. Sebuah perasaan tak enak muncul. Baru saja mulai buang air kecil, terdengar suara air mengucur dari arah lapangan.

"Siapa yang pakai air kendi malam-malam begini?" pikirku.

Setelah buang air kecil, aku beranikan diri mengintip area lapangan melalui lubang ventilasi. Suaranya menghilang. Kulihat di dekat kendi itu. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Tiba-tiba suasananya menjadi sunyi sekali, bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Bergegasku membalikan badan, ke luar dari kamar mandi.

Saat baru melangkah ke luar, kurasakan ada angin dingin yang menghebus. Hingga terasa ke seluruh tubuh. Aku menarik nafas panjang. Tercium wangi kapur barus.

"Mungkin, itu berasal dari saluran air. Bekas memandikan jenazah Nek Ipah, tadi pagi," pikirku. seraya berjalan ke arah pintu belakang. Baru melangkah satu kaki masuk ke dalam rumah.

BRUG!

Tiba-tiba ... pintu kamar mandi tertutup dengan sendirinya. Suaranya yang keras membuatku sangat terkejut. Cepat-cepat aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu belakang.

Belum melangkah jauh dari pintu belakang. Terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Diikuti dengan suara wanita yang sedang bersenandung. Sontak aku pun berlari, kembali ke kamar.

"Kenapa lari, Dan?" tanya Akbar, kakakku.

"Tadi, pintu kamar mandi ketutup sendiri," jelasku.

"Angin kali," balas Akbar.

"Terus, ada suara perempuan nyanyi sama air."

"Di mana?"

"Di kamar mandi, Kak!"

"Ah, salah denger palingan. Dah, mending tidur aja."

*

Hari berikutnnya, aku tidak mengalami kejadian aneh lagi. Kurasa kemarin itu berasal dari rasa takutku pada si Wanita Berpakaian Hitam di pemakaman.

Selama tiga hari usai kematian Nek Ipah, warga rutin melakuan pengajian. Pengajiannya dilakukan di rumah Pak RT, karena rumah Nek Ipah terlalu kecil untuk acara tersebut.

"Kak, mau ke rumah Pak RT?" tanyaku pada Akbar yang masih asik menonton televisi.

"Belum mulai, Kan?"

Aku berjalan ke teras, menengok ke arah rumah Pak RT. Lalu kembali ke ruang tengah.

"Belum, Kak."

"Kalau mau duluan aja, Dan."

"Iya," balasku, lalu berjalan kekamar, mengambil celana panjang. Setelah siap, aku berjalan ke samping rumah. Memanjat tembok pagar yang agak pendek, tepat di samping pohon mangga berukuran besar.

Warga sudah mulai berdatangan. Pengajian pun dimulai pukul setengah tujuh malam. Aku, Indra, Surya dan Fahrul tidak masuk ke dalam. Kami memilih duduk di balai bambu, di samping pohon mangga.

"Maen ke lapangan, Yuk!" ajak Surya seraya beranjak dari balai.

"Takut ah." Aku menolak ajakannya.

"Si Dani sih penakut emang," ejek Indra.

"Ayo, Dan! Takut apa sih?" Surya menarik tanganku.

"Ya udah deh." Terpaksa aku ikut dengannya.

Kami berjalan menuju lapangan. Suasananya sepi dan agak gelap, karena lampu di teras rumah Nek Ipah tidak menyala. Jadi hanya ada satu penerangan saja, dari lampu di tengah lapangan.

"Maen petak umpet, Yuk!" ajak Surya.

"Ayo!" Indra dan Fahrul kompak menjawab. Sementara itu aku masih ragu. Lebih tepatnya takut bermain petak umpet malam-malam.

"Hompimpa Alaium Gambreng, Nek Ipah pake baju rombeng!" ucap Fahrul, Indra dan Surya bersamaan, sambil mengulurkan telapak tangannya.

"Dani kenapa gak ikutan?" tanya Indra.

"Jangan gitu," balasku.

"Oh iya, lupa."

"Hompipa Alaium Gambreng!" Aku pun kalah.

"Dani yang jaga," ucap Fahrul.

"Itung sampe sepuluh, Ya! Jangan curang!" ucap Indra seraya berjalan menjauh.

Aku bejalan mendekati pagar tembok rumah Bu Endah. Berdiri di depan tembok, lalu menutup mata dengan kedua telapak tangan dan mulai

1! 2! 3! 4!

Puk!

Aku merasakan ada yang menepuk pundak. Kuhentikan hitungan lalu menengok ke belakang. Terlihat Fahrul yang sedang berlari mencari tempat persembunyian.

"Tuhkan si Dani curang," teriak Fahrul.

"Tadi ada yang nepuk pundak," sahutku.

"Jangan bohong, Dan! Orang gak ada siapa-siapa. Sana itung dari awal lagi."

Aku kembali menghadap tembok dan mulai berhitung.

1! 2! 3! 4! 5! 6!

Aku kembali berhenti menghitung. Kali ini terdengar ada orang lain yang ikut menghitung di belakangku.

"Tujuh!" Suara itu melanjutkan hitungan. Aku tidak berani membuka mata. Apalagi harus mengecek siapa yang ada di belakang.

"Kenapa tidak dilanjut, Nak?" tanya Suara itu. Suara yang terdengar dekat sekali dan sepertinya tidak asing di telingaku.

Kuberanikan diri membuka mata dan membalikan badan. Tepat di belakangku, berdiri sesosok wanita dengan wajah pucat, rambutnya berantakan dan mengenakan baju kebaya.

"N-ek I-pah," ucapku terbata-bata.

Saat akan berteriak, suaraku mendadak hilang. Aku hanya bisa berdiri mematung sambil terus menatap sosok menyeramkan di hadapanku. Jantung berdegup sangat kencang.

"Hihihihihi." Nek Ipah tertawa melengking.

"Hihihihihi." Dia kembali tertawa. Lalu menunjukan senyumnya yang lebar hampir mendekati telinga. Serta deretan gigi yang berwarna hitam.

Kepalaku mulai berat. Pusing sekali. Mata mulai berkunang-kunang. Perlahan meredup. Kaki pun seperti kehilangan pijakan.

Brug!

Aku tak sadarkan diri.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang