Sebuah Perpisahan

9.8K 978 99
                                    

Pintu rumah Nek Ipah terbuka, ada cahaya terang sekali. Di balik cahaya itu muncul seseorang. Aku tidak tahu itu siapa.

"Kamu mau bertemu Dirga?" ucap Orang itu.

"Kakek!" ucapku senang, saat melihat kakek berkuda itu datang. "Enggak ah, Dirga kan udah jahat," balasku menolak ajakannya.

"Dia tidak jahat, hanya diperalat saja. Yakin kamu tidak mau bertemu dengannya?"

Sejujurnya aku ingin sekali bertemu, tapi rasa kesal ini belum juga hilang.

"Udah pergi dulu sama kakek, nanti balik lagi ke sini," ucap Nek Ipah.

Kakek membawaku pergi dengan menunggangi kudanya, menuju sebuah pegunungan. Di puncak gunung tersebut, ada sebuah padepokan. Di halamannya, ada banyak anak-anak kecil sedang bermain dan tertawa.

Tiba-tiba, aku teringat padepokan yang dikuasai oleh siluman ular itu. Di halaman depannya juga banyak anak-anak, tetapi wajahnya aneh dan tua.

"Jangan-jangan mereka juga sama," pikirku.

Aku berjalan perlahan, menatap wajah anak-anak itu. Wajahnya normal, seperti manusia biasa. Kemudian terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari dalam padepokan.

Belum sempat mendekat ke sana, seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Aku pun menoleh, "Dirga," ucapku.

Tanpa sadar kami pun berpelukan. "Maafkan aku Dani," bisiknya.

"Iya gak apa-apa, makasih juga udah ngasih tau tentang Rian," ucapku.

Ternyata Rian pun ada di sana, langsung menghampiriku dengan senyum manisnya.

"Eh Rian," sapaku.

"Halo, Kak," balasnya.

"Sementara waktu, mereka di sini untuk belajar ngaji, daripada berkeliaran. Karena berkeliaran di luar sangat berbahaya bagi mereka," ucap Kakek.

"Kakek, kenapa waktu itu tidak menyelamatkan Rian?" tanyaku.

"Bangsa kami memiliki aturan tersendiri, kakek tidak bisa seenaknya membebaskan mereka semua. Jika kakek bebaskan Rian, anak lainnya akan ikut minta dibebaskan. Dan itu akan menciptakan kerusuhan di sini (dunia astral). Raksasa-raksasa lainnya akan marah dan mengamuk di duniamu. Jika sudah begitu, akan lebih banyak korban," jelas Kakek.

"Ya, tapi aku kasihan dengan mereka," ucapku.

"Itu sudah menjadi takdir mereka, kakek tidak bisa berbuat apa-apa," balas Kakek.

Kentungan berbunyi cukup kencang. Anak-anak yang tadinya sedang bermain, langsung masuk ke dalam padepokan, termasuk Dirga dan Rian.

"Sudah, ayo kita kembali ke rumah Nek Ipah," ajak Kakek.

Hanya dalam hitungan detik, aku sudah sampai di rumah Nek Ipah. Kakek berkuda pun pamit dan menghilang.

"Sudah ketemu Dirga dan Rian?" tanya Nek Ipah.

"Sudah, Nek," balasku.

"Lanjut ceritanya Nek," pintaku.

Awalnya, Rian tidak akan dijadikan tumbal. Tubuh Rian masih disembunyikan oleh si Wanita Hitam di salah satu pohon, di kebun belakang rumah Pak Jamal.

"Nyawa harus dibayar dengan nyawa," ucap Nek Ipah.

Ketika Wanita Hitam itu gagal merenggut nyawaku, sebagai gantinya Pak Jamal harus mencarikan nyawa orang lain. Ketika ia ditangkap, Nek Ipah datang ke rumahnya untuk menjemput Rian. Wajahnya sangat ketakutkan ketika melihat Nek Ipah di sana.

"Ke mana Wanita Hitam itu, Nek? Apa dia kabur?" tanyaku.

"Dia diikat di sebuah gunung yang jauh dari sini."

"Sama siapa?"

"Kakek Berkuda tadi."

"Kenapa tidak dibunuh saja, Nek?" tanyaku.

"Cara itu jauh lebih menyakitkan baginya, tidak ada yang bisa melepas ikatan itu. Ia pasti berharap cepat mati karena tidak ada yang memberinya makan," jelas Nek Ipah.

"Makan?" tanyaku.

"Wanita Hitam itu sudah bekerja sama dengan manusia, sehingga sering diberi makan, seperti sesajen, telur, darah ayam, bahkan nyawa manusia. Itu membuatnya menjadi semakin kuat," jelas Nek Ipah.

"Sebenarnya siapa wanita hitam itu sih Nek? Kok dia bisa berubah-ubah," tanyaku

"Dia adalah Genderuwo Wanita, jenis yang sangat jarang ditemui. Dia memang ahli dalam berubah wujud."

Nek Ipah berdiri dan mengajakku kembali ke kamar. Aku dibaringkan di tempat tidur. Kemudian ia duduk di sampingku, mengelus-elus rambutku dan bersenandung, merdu sekali. Suaranya sangat menyayat hatiku, terasa ada kesedihan yang amat dalam.

"Dani," ucap Nek Ipah, sebelum aku menutup mata.

Pagi harinya aku terbangun dengan bantal yang basah. Mataku sembab, seperti habis menangis semalaman. Aku benar-benar tidak ingat apa yang Nek Ipah katakan sebelum aku menutup mata.

"Nek Ipah, Nek Ipah!" ucapku dalam hati. Aku berharap Nek Ipah segera datang untuk mengulang ucapannya semalam. Namun tidak ada tanda-tanda kedatangannya.

Hari ini adalah hari ke-40 Nek Ipah meninggal dunia. Malam harinya diadakan pengajian di masjid, dipimpin oleh Pak Ustad. Semenjak hari itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya.

Sampai ....

Tahun 1998, abah dan ibu memutuskan untuk pindah rumah. Rasanya sedih sekali meninggalkan sebuah lingkungan yang sangat nyaman dan teman-teman terdekatku.

Selama tiga tahun terakhir ini masih ada banyak gangguan, bahkan teror lain yang lebih parah menimpah keluargaku. Mungkin ini cara abah dan ibu untuk melupakan semua kenangan buruk itu.

Malam hari sebelum aku pindah rumah, Nek Ipah datang ke mimpiku.

Dia tersenyum, "Hai, Dani," sapanya.

"Nek Ipah." Aku berlari memeluknya. "Nek Ipah ke mana aja?" tanyaku.

Kedua tangannya memegang pundakku, "Nek Ipah selalu ada di dekatmu," bisiknya.

"Nek Ipah mau ikut aku pindah?"

"Tidak bisa Dani."

"Kenapa?"

"Nek Ipah akan tetap disini, menunggu dia datang."

"Siapa Nek?"

"Anak nenek."

Semenjak hari itu, aku tidak pernah bertemu dengan Nek Ipah, baik secara langsung ataupun melalui mimpi. Mimpi terakhir itu menjadi sebuah perpisahan yang tidak akan pernah kulupakan.

_______

Aku menutup laptop, tak terasa air mata menetes di sudut mata. Kembali merasakan kerinduaan akan sosok Nek Ipah. Sudah 20 tahun aku tidak bertemu dengannya. Aku hanya mendapatkan kabar, kalau rumahnya sudah dijual. Mungkin ia sudah bertemu dengan anaknya. Sehingga tidak terus menunggu di sana.

"Gimana udah nulisnya?" tanya Ibu saatku ke luar kamar.

"Udah, Bu. Pegel nih tangan."

"Terus kalau Nek Ipah datang lagi gimana?" tanya Ibu.

"Biarin aja. Dani juga kangen denger ceritanya."

SEKIAN

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang