Sumur

8.8K 713 12
                                    

Lima hari terakhir ini, tidak ada sama sekali teror yang terjadi di kampung. Warga yang awalnya takut ke luar rumah, kini sudah berani melakukan kegiatan di malam hari. Saah satunya adalah Mbak Ratna.

Mbak Ratna yang tinggal tak jauh dari rumah Nek Ipah pun merasakan hal itu. Ia sampai tidak berani pulang ke rumah, jika hari sudah malam. Padahal sebagai buruh pabrik, ia sering mendapatkan jadwal kerja lembur.

Seminggu terakhir, setiap ada kerjaan lembur. Ia lebih sering menginap di kos-kosan temannya. Jika sudah pagi, baru kembali ke rumahnya.

"Eh Dani," sapa Mbak Ratna saat melihatku berjalan ke luar gang.

"Berangkat sekolahnya pagi banget?" tanyanya.

"Iya, Mbak. Ada senam pagi," balasku berlalu ke arah sekolahan.

Biasanya pagi-pagi begini, Mbak Ratna pasti sedang menunggu bus jemputan karyawan. Benar saja dugaanku, belum jauh melangkah sudah terlihat sebuah bus datang dari lawan arah.

*

Keesokan paginya, aku dikagetkan dengan kehadiran Indra di balik jendela kamar.

"Ada apa, Dra?" tanyaku.

"Ayo ke rumah!" ucapnya.

"Gak ah, mau berangkat sekolah."

"Sebentar aja. Buruan."

"Ngomong dulu ada apa."

"Pokoknya ke rumah, cepetan!"

Penasaran, aku pun berjalan ke luar menuju rumah Indra. Di sana sudah ramai orang. Indra menarik tanganku masuk ke dalam rumahnya. Terdengar suara isak tangis seorang wanita dari ruang tengah. Ternyata itu Mbak Rini, di sampingnya ada ibu dan adiknya. Aku bingung dengan apa yang terjadi.

"Ratna gak salah liat?" tanya Pak RT.

"Gak, Pak. Saya yakin banget itu Nek Ipah," balas Mbak Ratna.

"Padahal saya kira dia udah gak teror warga sini lagi," balas Pak RT.

"Jadi gimana ceritanya?" sambungnya.

Awalnya Mbak Ratna enggan bercerita. Terlihat dari wajahnya yang sedikit pucat dan ketakutan.

"Tadi subuh, saya pergi ke sumur." Mbak Ratna memulai cerita.

Sama seperti kemarin, Mbak Ratna masih mendapat jadwal kerja pagi. Jadi ia harus bangun lebih pagi, agar tidak telat dijemput. Pukul empat pagi, ia sudah bangun. Lalu, mengambil air di sumur untuk keperluan mandi. Ia membawa satu ember besar.

Pada saat itu langit masih gelap. Perlahan ia berjalan mendekati bibir sumur. Dengan langkah hati-hati karena lantainya agak licin, ia pun sampai di bibir sumur. Kemudian menarik tali karet untuk mengangkat ember kecil dari dalam sumur.

Sedikit demi sedikit air di embernya mulai terisi. Namun, ia merasa ada yang aneh. Tarikannya semakin lama malah semakin berat. Padahal air yang diambil hanya sedikit. Mbak Ratna tidak merisaukan hal tersebut, terus mengisi embernya hingga penuh.

Ember pun sudah terisi penuh. Mbak Ratna meletakan ember kecil di bibir sumur. Kemudian berjalan pulang. Ia pun berjalan perlahan, sambil membawa embernya yang cukup berat. Baru beberapa langkah menjauh dari bibir sumur, tiba-tiba ....

Byur!

Mbak Ratna dikagetkan dengan suara benda terjatuh ke dalam sumur. Spontan ia menengok ke belakang. Namhn tidak ada yang aneh. Ember kecil tadi masih ada di tempatnya semula.

"Jadi yang jatuh apa?" tanya Indra, karena Mbak Ratna tiba-tiba diam, tak melanjutkan ceritanya.

"Mbak juga gak tau apa yang jatuh ke dalam sumur. Pas balikin badan, ada bunyi lagi dari arah sumur,"ucap Mbak Ratna.

Krek! Krek! Krek!

Spontan Mbak Ratna kembali menoleh ke belakang. Dalam kegelapan, ia masih bisa melihat dengan jelas kalau tali karet itu bergerak dengan cepat.

Bruk!

Ember kecil itu pun terjatuh ke tanah. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Mbak Ratna buru-buru pulang ke rumah. Namun, kali ini langkahnya terasa lebih berat. Ya, ember yang dibawanya entah kenapa menjadi lebih berat.

"Neng ...." Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilnya. Arahnya dari sumur. Mbak Ratna menghentikan langkah, memastikan apa yang didengarnya tidak salah.

"Neng ... bantu nenek, Neng. Sakit!" Suaranya makin terdengar jelas.

Penasaran, Mbak Ratna malah menengok ke belakang. Matanya tertuju pada tiang besi tempat menggantung katrol. Terlihat ada tubuh seseorang yang bergelantungan terbalik. Kakinya di atas ... tapi tanpa kepala. Kepalanya tergeletak di bibir sumur dalam posisi berdiri tegak. Rambutnya terurai hingga ke tanah.

"Bantu nenek, Neng. Hihihihihi," ucap Sosok itu disertai tawa yang melengking.

"Nek Ipah!" teriak Mbak Ratna saat mengetahui sosok itu adalah Nek Ipah. Kemudian ia berlari pulang, meninggalkan ember yang dibawanya.

"Kenapa Nek Ipah malah meneror kita, ya, Pak?" tanya Ibu Mbak Ratna.

"Saya juga gak tau," balas Pak RT.

"Apa sebelumnya Ratna ada masalah sama Nek Ipah?" sambungnya.

"Tidak ada, Pak," balas Mbak Ratna.

"Saya jadi takut kalau liat sumur itu lagi, Pak," sambungnya.

Pak RT meminta warga untuk memanggil orang yang tinggal di sekitar sumur. Kulihat jam dinding, waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Aku pun pamit pulang, karena harus berangkat sekolah. Saat tiba di rumah, terlihat ibu sudah berdiri di dekat pintu dengan tatapan marah.

"Pagi-pagi keluyuran. Sana mandi!" omel Ibu.

"Ya, Bu." Aku berlari ke kamar mandi.

Siang harinya, setelah pulang sekolah. Aku kembali bertemu dengan Indra. Ia menceritakan kalau warga sekitar yang tinggal di dekat sumur sudah sepakat untuk menutup sumur itu sementara waktu.

*

Keesokan harinya, aku, Indra dan Fahrul bermain di lapangan depan sekolahku. Ya, kami masih belum berani bermain di lapangan belakang rumah.

"Eh, udah denger cerita semalem belum?" tanya Fahrul.

"Udah," sahut Indra.

"Cerita apa?" tanyaku bingung.

"Wah si Dani belum denger, Rul!" sahut Indra.

"Cerita apaan sih?"

"Nek Ipah!"

"Iya, Nek Ipah semalem neror lagi," ucap Fahrul.

"Ah gak jadi. Pasti serem."

"Huuh, kasian orang yang lagi ronda."

Kami pun akhirnya mencari tempat teduh di pinggir lapangan. Tepatnya di bawah pohon beringin. Kebetulan tadi malam, ayah Fahrul yang mendapatkan tugas ronda.

Sebelumnya Pak RT sudah berpesan untuk tidak meronda ke dekat rumah Nek Ipah alias area lapangan belakang. Khawatir nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan akan membuat warga semakin ketakutan.

Namun warga yang melakukan ronda malah tidak memperdulikan pesan Pak RT. Alhasil teror itu pun benar-benar terjadi.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang