Payung Hitam

7.2K 670 14
                                    

Di kamar, aku berkali-kali memanggil Dirga, tapi ia tidak juga datang. Bosan, akhirnya aku memilih untuk bermain kelereng di halaman depan rumah.

Sekilas, terlihat sesuatu dari ekor mata. Seperti ada orang berdiri di tengah jalan depan rumah. Dengan cepat aku menengok ke sana. Ternyata tidak ada apa-apa.

Kejadian itu pun terulang beberapa kali. Sampai akhirnya aku melihat sebuah payung hitam, tergeletak dalam posisi terbuka. Payung itu bergerak, terbang ke arah rumah Indra. Tidak lama kemudian ....

"Argh!" Terdengar suara jeritan dari rumah Indra. Bergegas aku berlari ke sana, masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Indra sudah kejang-kejang, melotot dan berteriak-teriak.

"Bu Ani, Indra kenapa?" tanyaku.

"Gak tau, Dan. Tolong panggilin Pak Ustad," pintanya sambil memegangi tubuh Indra yang terus meronta-ronta. Bergegas aku berlari ke rumah Pak Ustad, sambil terus memikirkan keadaan Indra.

"Ini semua karena ulahku." Kata-kata itu terus menghantui pikiranku.

"Maafkan aku, Indra."

*

Aku berhasil membawa Pak Ustad ke rumah Indra.

"Wah ini kesurupan," kata Pak Ustad.

Pak Ustad memegang tangan Indra, sambil terus merapal doa.

"Hahahaha." Indra tertawa.

"Siapa kamu?" tanya Pak Ustad.

"Sekarang saya sudah bebas. Hahahahaha."

"Nek Ipah?" tanya Pak RT, terkejut.

"Seseorang telah melepaskanku." Matanya melotot ke arahku.

"Sekarang aku akan membawa anak ini," sambungnya.

Butuh waktu lebih dari satu jam, sampai akhirnya Indra bisa kembali sadar. Tubuhnya yang mungil itu, basah dengan keringat. Nafasnya terlihat seperti habis berlari keliling kampung. Kemudian, ia dibawa ke kamar dibaringkan di tempat tidurnya.

"Siapa yang melepaskannya. Kurang ajar!" ucap Pak RT kesal.

Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Itu membuatku semakin merasa bersalah.

Aku pun pulang, melewati pagar samping. Dari pagar samping, payung hitam itu terlihat kembali. Kini berada di tumpukan besi-besi rongsokan, bekas becak. Payung itu melayang, ke arah rumah Fahrul.

"Fahrul!" Teriakku seraya berlari ke rumahnya.

Ibu Fahrul ada di warung, "Tante Fahrul ada?"

"Gak ada, lagi nginap di rumah opungnya."

"Alhamdullilah."

"Kenapa Dani? Kok mukanya panik begitu."

"Eh ... enggak tante. Ya udah Dani pulang dulu." Beruntung Fahrul sedang tidak ada di rumah. Kalau tidak, dia akan menjadi sasaran berikutnya.

*

Sekitar jam sembilan malam, ramai orang berkumpul di dekat rumah. Abah juga sudah ikut berkumpul di sana. Aku keluar menghampiri kerumuman orang itu.

"Ini pasti kerjaan Nek Ipah," ucap salah satu warga.

"Iya, Nek Ipah," sahut Warga lainnya.

Kulihat Ibu Fahrul sedang menangis di balai kayu.

"Abah ada apa?" tanyaku bingung dengan situasi ini.

"Jangan ke sini! Masuk rumah!" perintah Abah.

Aku pun menurut, kembali masuk ke dalam rumah. Tidak ada satupun orang yang bisa kutanyai. Dirga juga sudah tidak pernah muncul.

Keesokan harinya, aku baru tau tentang kejadian semalam.

Rian, adik Fahrul, yang masih berumur tiga tahun, menghilang dari rumah. Kabarnya, ia culik ketika tidur sendirian di kamar. Ibu Fahrul sempat melihat ketika penculik itu menggendong anaknya. Sosoknya menyerupai Nek Ipah!

Ibu Fahrul mencoba merebut Rian, tapi tidak bisa. Sosok itu terbang melewati jendela dan membawa Rian. Semalaman warga mencari keberadaan Rian. Namun sampai detik ini, ia tidak juga ditemukan.

*

Aku berpura-pura sakit, tidak mau pergi ke sekolah. Tidak lama kemudian, Pak Ustad bersama temannya datang ke rumah. Mereka mengobrol dengan abah di ruang tamu.

"Coba panggil Dani ke sini!" pinta Pak Ustad ke abah. Suaranya terdengar sampai ke kamarku.

"Dani!" panggil Abah.

Aku bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan ke luar kamar untuk menemui mereka.

"Dani sini." Pak Ustad memintaku duduk di sampingnya.

"Pak Ustad mau nanya sesuatu," sambungnya, saat kududuk di sampingnya. Ia pun memperkenalkan temannya. Namanya, Mang Wahyu, seorang guru pesantren yang merupakan teman abah juga.

"Dani, apa benar kamu yang ngasih tau di mana sukma Sari berada?" tanya Mang Wahyu.

"Iya, Mang."

"Sekarang, apa kamu tau Rian ada di mana?" tanyanya.

"Gak tau," balasku.

"Sebenernya dulu, Dani tau dari Dirga." Aku pun mengaku.

"Dirga?" tanya Abah.

"Anak kecil yang biasa ikut dan main sama Dani," jelasku, sontak membuat abah terkejut.

"Berarti, dugaan saya selama ini bener, Pak Ustad," ucap Abah.

"Soalnya Dani sering maen sama ngomong sendiri di kamar," sambungnya.

"Jadi Dirga itu bukan manusia? Hantu?" tanga Mang Wahyu.

Aku menganggukan kepala.

"Kamu bisa manggil Dirga?" pintanya.

"Dirga gak pernah muncul lagi, gara-gara Dani ...." Aku berhenti berbica. Tak mungkin mengatakan gara-gara membebaskan Nek Ipah.

"Gara-gara, Dani? Bilang aja gak usah takut," rayu Abah.

"Ya, bilang aja, gak apa-apa," timpal Mang Wahyu.

"Sebelum ngilang, Dirga marah sama Dani. Katanya gara-gara Dani ngebebasin Nek Ipah." Aku terpaksa mengaku.

"Gimana caranya Dani bebasin Nek Ipah?"

Aku menceritakan tentang mimpi di pohon besar itu.

"Dani kira itu cuman mimpi," ucapku.

"Bukan, itu dunia astral. Siapa yang ajarin Dani main ke sana?" ucap Mang Wahyu.

"Dirga."

"Ya udah, Dani sekarang masuk kamar aja dulu. Mang Wahyu mau ngobrol sama abah dan Pak Ustad."

Aku kembali ke kamar, membaringkan diri di atas tempat tidur.

"Dirga kemana, di saat penting begini dia malah ngilang," kataku dalam hati.

Beberapa saat kemudian, abah memanggilku ke ruang tamu. Aku diminta duduk di samping Mang Wahyu.

"Dani, menurut kamu, Dirga baik atau jahat?" tanya Mang Wahyu.

"Baik."

"Kalau Nek Ipah?"

"Ya jahat."

"Gini Dani, terkadang apa yang kita lihat baik, belum tentu baik. Apa yang terlihat jahat, belum tentu jahat. Bangsa jin itu paling pintar menipu kita. Jangan terlalu mengikuti perkataan mereka," pesan Mang Wahyu.

"Iya Mang." Walaupun aku tidak terlalu mengerti ucapan Mang Wahyu.

"Nanti kalau Dirga datang, bilang ke abah ya," ucap abah.

"Sekarang Dani masuk ke kamar lagi," imbuhnya.

Aku kembali ke kamar dan berbaring di tempat tidur. Tak lama tertidur. Ketika bangun, aku baru ingat masalah payung hitam itu. Saat ke ruang tamu, ternyata Mang Wahyu, Pak Ustad dan abah sudah tidak ada.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang