Jangan Lari!

8.7K 721 38
                                    

Aku berlari menuju pintu depan. Pintu depan pun terkunci.

Dug! Dug!

Kugedor pintu depan dengan keras. Tak lama, Akbar membukakan pintu.

"Ada apa sih, Dan? Berisik ini udah malem," protes Akbar.

"Kenapa pintu belakang dikunci?" tanyaku balik.

"Ibu sama Abah lagi ke luar. Lagian kenapa pulang lewat sana. Katanya gak berani lewat lapangan."

"Tadi dianter Pak Karya."

"Terus kenapa gedor-gedor pintu depan?"

"Ada Nek Ipah di pohon mangga."

"Jangan bikin takut deh! Mana gak ada abah sama ibu."

Kami tidak berani pergi ke kamar, lebih memilih diam di ruang tengah sambil menyalakan TV dengan volume lumayan keras. Soalnya jika masuk kamar, penglihatan otomatis ke arah jendela yang menghadap pohon mangga.

Tok! Tok! Tok!

Ada yang mengetuk pintu belakang, tidak mungkin abah dan ibu pulang lewat sana. Kami pun duduk berhimpitan, kembali membesarkan volume TV.

Dug! Dug!

Suara yang cukup kerasa terdengar dari langit-langit ruang tengah, sukses membuat kami berteriak. Akbar mengajakku pergi ke kamar.

Dengan langkah cepat kami berjalan menuju kamar. Benar saja, terlihat jendela kamar yang masih terbuka lebar.

"Aduh, kakak lupa nutup jendela ya!" keluhku masih berdiri di dekat pintu.

"Iya, tutup sana!" perintah Akbar.

"Gak ah!" Aku menolak perintahnya, takut nanti ada yang tiba-tiba muncul dari balik jendela.

Akhirnya kami melompat ke tempat tidur, lalu bersembunyi di balik selimut.

"Tuh! Kakak juga takut, Kan? Gimana aku yang ketemu langsung," ejekku.

"Udah diem!"

Suara-suara berisik masih terdengar.

Brug! Brug!

Kini terdengar dari langit-langit kamar. Spontan, aku dan Akbar saling berpelukan, masih di dalam selimut. Kami tetap bertahan, walaupun suara itu semakin keras. Namun, suasana tiba-tiba menjadi hening.

"Udah pergi, Dan," bisik Akbar.

"Iya, Kak," balasku.

Tuk! Tuk! Tuk!

Ada suara ketukan cepat, arahnya dari jendela kamar. Kami pun kembali berdempetan.

Tuk! Tuk! Tuk!

"Dek, Kak, buka pintu." Terdengar suara seorang wanita dari arah jendela.

"Dan, liat sana!" perintah Akbar.

"Kakak aja!" Tak ada satu pun dari kami yang berani ke luar dari selimut.

"Buruan, nanti dimarahin abah sama ibu."

Terpaksa aku membuka sedikit selimut, lalu melihat ke arah jendela.

"Hua!" Seketika itu aku langsung terkejut dan kembali bersembunyi. Kupeluk Akbar erat, sambil menangis.

"Kenapa, Dan?" tanya Akbar kebingungan.

"Bukan mamah itu ...!"

"Terus siapa?"

"Setan."

"Nek Ipah?"

"Gak tau, liat aja sendiri!"

Jelas sekali tadi kulihat ada sesosok wanita sedang duduk di tembok pagar dekat pohon mangga. Ia sedang memain-mainkan rambutnya yang panjang, sambil menatap ke arah jendela. Beruntung wajahnya tidak terlihat jelas.

Abah dan ibu masih belum juga pulang. Rasanya panas sekali harus terus bersembunyi di balik selimut.

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara itu muncul kembali.

"Dek, Kak, kok pintunya dikunci?" teriak Seseorang dari balik jendela. Kali ini suara seorang pria.

"Abah?" sahut Kakak, masih bersembunyi di balik selimut.

"Iya, buka pintunya!" balas Suara itu.

"Dan liat gih!" suruh Akbar.

"Kakak aja!" balasku.

Kakak memberanikan diri, mengintip sedikit ke arah jendela. Ternyata benar, itu abah. Sontak kami pun berlari ke pintu depan, membuka pintu dan memeluk abah.

"Kenapa nangis?" tanya Ibu heran saat melihat kami berdua menangis.

"Ada setan, Bu," balas Akbar.

"Suara TV gede banget sampe kedengeran ke luar. Berisik udah malem," omel Ibu.

Ayah mengajak kami duduk di ruang tengah.

"Coba ceritain, tadi ada apa?" tanyanya.

"Ada setan, Abah," balasku.

"Ya, ceritain gimana."

Aku menceritakan semua kejadian tadi. Mulai dari saatku pulang ke rumah, suara Nek Ipah yang terdengar dari pohon mangga, suara berisik di langit-langit dan wanita di pagar.

"Ya udah, sekarang tidur," ucap Abah.

Abah mengantar aku dan Akbar ke kamar. Awalnya kami menolak tidur di kamar. Namun abah menemani kami sampai tertidur.

*

Keesokan harinya, Bu Ani datang ke rumahku. Ia menanyakan bagiamana kondisiku. Aneh, untuk apa ia menanyakan hal itu. Namun, setelah ia mulai bercerita baru aku paham.

Semalam, Indra pulang sendirian, melewati lapangan dan jalan samping. Ketika ia melewati pohon mangga, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di tengah jalan. Semakin mendekat, ternyata itu Nek Ipah.

Sontak Indra berbalik arah. Berusaha mengetuk jendela samping, tapi orang rumahnya sama sekali tidak mendengar. Nek Ipah mendekat. Memaksa Indra untuk berlari ke pintu belakang. Pintu yang berbatasan langsung dengan rumah Nek Ipah.

Saat akan membuka pintu belakang, ternyata tidak bisa. Dikunci. Indra terus mengetuk pintu sambil memanggil orang rumahnya. Namun, tak ada seorang pun yang dengar.

"Adek jangan lari," ucap Seseorang di belakangnya. Saat menengok ke belakang, Indra melihat Nek Ipah sedang duduk di genting rumahnya. Nek Ipah tertawa melengking, sambil ongkang-ongkang kaki.

"Mau dengar cerita Nenek?" tanya Nek Ipah.

Indra yang sudah sangat ketakutan hanya bisa meringkuk di depan pintu sambil menangis. Beruntung suara tangisannya itu terdengar oleh Sari, kakaknya. Ia juga yang membukakan pintu dan membantu Indra berdiri. Lalu dibawa ke kamar.

"Sekarang Indra lagi sakit," ucap Bu Ani.

Mendengar kabar itu, aku merasa sedikit puas. Biar Indra merasakan apa yang pernah kurasakan. Walaupun aku juga kasihan padanya.

Sepulang sekolah, aku datang ke rumahnya. Kulihat Indra sedang berbaring di atas tempat tidur.

"Gimana? Serem, Gak?" ejekku, lalu tersenyum.

"Ih ngeledek," balasnya.

"Serem," imbuhnya.

"Makanya jangan suka ngeledek," balasku.

"Iya."

Aku mengobrol sebentar, lalu pulang ke rumah. Setelah kejadian yang menimpa Indra. Situasi di kampung cenderung aman. Selama beberapa hari, tidak ada kejadian aneh. Aku mengira teror itu sudah selesai. Namun ternyata ini baru sebuah permulaan.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang