Sesampainya di rumah, Ale yang sedari tadi tak lepas untuk tersenyum dibuat terdiam dengan keadaan rumah yang bisa dibilang kacau.
"Anya!" Ale menutup telinganya rapat-rapat. Adiknya itu entah kali ini berulah apa. Ia menyetel musik kencang-kencang. Menyalakan televisi juga dengan volume luar biasa. Jika di film kartun, mungkin barang-barang di rumahnya melompat-lompat karena suasana ini.
Sambil mendekap telinganya rapat-rapat, Ale menuju ke Anya yang sedang duduk di depan televisi dengan headphone di kepalanya. "Anya!!" panggilnya. Sedañg adiknya hanya menoleh acuh. Ale mematikan televisi dan speaker terlebih dahulu.
Anya melepas headphone dari kepalanya. "Apasih abang ganggu" gadis itu lalu berdiri, berjalan pergi dari hadapan Ale.
Siapa yang lebih paham Anya jika bukan Ale. "Kenapa? Marah karena abang melupakan hari ulang tahunmu?" Langkah kaki Anya terhenti. Ia menoleh ke abangnya. "Iya kenapa!" Ale mengendikkan kedua bahunya. "Tuh" tunjuknya ke kedua kresek besar yang masih di tengah pintu. "apa?" tanya Anya sembari menghampiri kresek di tengah pintu.
"ABA-"
"Diem. Berisik. Besok jam 2 aja ya An panggil teman-temanmu" Ucap Ale menghentikan seruan gembira Anya. Anya menyengir lebar, menghadap abangnya penuh. Beradegan hormat. "Aye komandan" ucapnya semangat.***
"Abang gimana? Udah hampir setengah tiga nih" protes Anya kepada Ale. Pesta ulang tahun Anya belum juga dimulai. Ale keukeuh menyuruhnya menunggu. Padahal hampir semua teman undangan Anya sudah datang. Apa masalahanya jika bukan perihal Nuri yang belum datang. Ale sedari tadi cemas menantinya. Berdiri di pintu seperti patung penjaga. Kadang mondar-mandir tidak jelas. Lima menit lagi berlalu, dan gadis dengan rambut yang biasanya dikepang itu belum juga muncul. Satu tahun berteman dengan Nuri, tidak pernah Nuri ingkar janji.
Ale berlari masuk ke dalam rumah. Menuju kamarnya. Mengambil sesuatu di nakas. Itu kunci motor. Ale memutuskan menjemput Nuri.
"Abang! Abang mau kemana?! Ulang tahun ku gimana?" tanya Anya ikut mengejar Ale yang terburu keluar rumah. Mereka menjadi tontonan para tamu undangan Anya sekarang. Ale tidak menghiraukan adiknya. Ia sudah naik ke atas motornya, mengenakan helm hitamnya.
"Mulai saja tanpa abang jika abang terlalu lama An" katanya, lalu menstarter motornya. Melaju keluar dari pekarangan rumah. Meninggalkan Anya yang membisu dengan keterdiamannya. Menatap punggung abangnya yang semakin menghilang. Tetes demi tetes air mata keluar dari mata coklat milik Anya. Satu dosa yang Ale buat pada hari itu, ia sudah menoreh luka di hati adiknya. Dia pergi dengan kalimat singkat tanpa ada unsur kata maaf di dalamnya. Dan satu cuplikan adegan itu berdampak besar pada kejadian-kejadian selanjutnya.***
Ale sampai di tempat Nuri. Ia turun dari motornya, dan berjalan masuk ke kawasan kolong jembatan. Di tengah jalannya yang terburu menuju rumah Nuri, Ale berpapasan dengan bu Agis yang tengah membawa tas besar. Wajahnya panik, terburu sama seperti Ale. Ale mencegatnya.
"Bu Agis!" panggilnya. Yang dipanggil menghentikan langkah terburunya, menoleh. Bu Agis sedikit menghembuskan nafas lega saat melihat pemuda itu. Ale menghampiri bu Agis.
"Untunglah.. Untunglah kau disini Al. Keadaannya tidak baik Al. Seolah semua nya berbalik begitu saja. Cepat Al kau harus kesana!" bu Agis berkata dengan sangat cepat. Nafasnya terengah-engah. Dia bahkan tak mempedulikan lagi suaranya yang memberat, tidak dibuat-buat medok seperti biasanya. Ale tidak mengerti maksud perkataan Bu Agis. Ada apa sebenarnya. Semuanya baik-baik saja kan. Nuri baik-baik saja kan.
"Ada apa bu? Apa ada masalah? Nuri dimana? Nuri baik-baik saja di rumahnya kan? Dia mungkin ketiduran sehingga agak telat datang ke rumahku" Sungguh, itu hanya harapan semu Ale. Ia tidak berharap mendengar berita buruk kali ini.
"Astaga! Riri kritis di rumah sakit. Cepat ayo bergegas!" sergah bu Agis dengan nada tinggi. Ale tidak ada waktu untuk mencerna kalimat itu lebih lama. Ia segera berlari disusul bu Agis menuju motornya. Segera saja ia menstarter motornya ke arah rumah sakit yang disebut bu Agis. Motor itu melaju kencang, meliuk menyalip kendaraan apa saja yang menghadang di depannya. Ale ngebut gila-gilaan sekarang, walau hal itu adalah hal nomor 1 yang dilarang mamanya. Bu Agis yang membonceng di belakang hanya mampu memejamkan mata, berpegangan erat pada besi belakang motor. Berharap ia tidak mati terlebih dahulu karena jantungan. Ale tidak menghiraukan klakson-klakson pengemudi lain yang menyalak protes. Jantungnya berdetak sangat kencang sekarang. Berharap Nuri baik-baik saja. Berharap semesta tidak terlalu kejam pada gadis baik hati itu kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Sayang Kamu
Teen FictionKisah yang kali ini akan bergulir memang sebatas kisah klise dengan dia yang menjadi sebab adanya kisah klasik ini. Dia yang menjadi alasan adanya pertanggung jawaban semesta atas candaannya yang tidak biasa. Sebelumnya terima kasih atas kehadiranny...