Semesta, kau pun boleh mengenal

160 14 0
                                    

Masih dengan rambut belah tengah yang di kepang, gadis itu memimpin di depan. Menunjukkan jalan untuk Ale yang mengikuti di belakangnya. Sepertinya kakinya sudah sembuh, gadis itu tak lagi berjalan pincang. Kali ini gadis itu memakai kaos kumal berwarna karmin, dan bawahan panjang hingga mata kakinya. Tak lagi nampak baret luka yang berdarah seperti di kereta sebulan lalu. Ia memikul keranjang yang sudah penuh barang bekas di punggung, juga membawa sebatang besi tipis sepanjang lengan di tangan kiri. Semakin berjalan ke dalam, bau-bau sampah di depan tadi sudah agak tidak menyengat, sudah agak mendingan.

"Silahkan duduk, dimanapun kamu bisa duduk" katanya sembari meletakkan keranjang nya di tanah. Ale melihat sekitar, konstruksi besi penyangga jembatan yang mereka jadikan rumah dengan seng-seng dan kardus-kardus sebagai dinding. Dan yah, bingung menjelaskannya sebagai orang awam yang masih asing dengan pemandangan ini.

Ale memilih duduk di atas tumpukan kardus, sepanjang ia memandang, ia pun bingung mau duduk dimana lagi selain di situ. Gadis itu menyuruh untuk menunggu sebentar. Setelah menunggu beberapa menit, gadis rambut kepang itu kembali dengan menarik tangan anak laki-laki kecil seusia Adik Ale. 

Ale reflek berdiri dari duduknya saat ditanya apa benar anak itu orang yang dicari. "Iya! benar anak itu!!" katanya setengah berteriak. 

Gadis itu menghela nafas, menatap pada anak kecil di sebelahnya. "Kembalikan Roja, benar dompet itu kau yang curi? kalau begitu kembalikan" ucap gadis rambut kepang itu kepada anak tadi. Anak itu menggeleng keras-keras menyangkal tuduhan. Dahi Ale mengerut, tidak mungkin ia salah mengenali. Benar anak itu yang mencuri dompetnya di jalan tadi. Benar anak itu yang membuatnya berlari mengejar dan sampai ke tempat ini. Gadis itu menatap Ale sebentar. Ale membalas dengan menggeleng bermaksud mengatakan kalau anak itu berbohong.

Gadis itu bersimpuh di depan anak tadi, menggeledah kantong belakang celana anak itu dan benar, itu dompet Ale. "Hidup susah bukan berarti tangan boleh panjang, Roja. Minta maaf"  gadis itu berdiri, menyerahkan dompet hitam dari kantong anak tadi kepada Ale. 

Anak laki-laki bertubuh kurus itu sedang menahan tangis. Berkata dengan suara tersendatnya "Maaf kak" tubuhnya membungkuk "Maaf mencuri dompet itu. Maaf. Tidak akan kuulangi" katanya penuh penyesalan. Tangan anak itu memegangi perut. Sepertinya menahan lapar.

Ale membuka dompetnya, ia menghembuskan nafas lega. Barang yang paling penting di dompet itu masih aman. Lalu Ale menarik selembar uang berwarna hijau. Akan ia berikan pada anak itu. Kasian, anak sekecil itu. Membayangkan jika itu adiknya yang menahan lapar, Ale tidak akan tega. Belum sempat uang itu diterima anak tadi, gadis berambut kepang itu menahan tangan Ale. "Tidak perlu" katanya menolak. Ale tidak berhenti, "Tidak apa-apa" Ia menggenggamkan uang itu ke tangan anak tadi. Mata anak itu berbinar, berkali-kali menganggukkan kepala berucap terima kasih, lalu berlari riang memanggil nama teman-temannya.

"Tidak perlu merasa kasian. Kami masih punya tenaga untuk mendapat selembar kertas bernama uang itu tanpa meminta. Dan maaf untuk perbuatan Roja tadi" gadis itu berkata sambil memunguti gelas-gelas bekas yang jatuh tercecer dari keranjangnya yang sudah penuh. Ale ikut membantu, membuat gadis itu terdiam sejenak untuk menatap pemuda berkaos hitam, yang terlihat kotor karena jatuh di tumpukan sampah tadi. 

Ale balik menatap gadis itu "Kenapa? aku tidak memberi banyak. Isi dompet tadi tidak seberapa, aku hanya bersyukur karena sesuatu di dalam sana tidak jadi hilang" Dan gerakan gadis itu berhenti, mendengus kecil sebagi tanggapan "Yang tidak seberapa bagimu, untuk kami perlu waktu seharian menahan penat untuk mendapatkannya. Walau itu hanya seribu perak"

Ale tertegun, tidak terpikirkan akan itu. Ia merasa bersalah karena tidak hati-hati dalam ucapannya. Ale memilih menunggu, tetap duduk di atas tumpukan kardus, mengamati gadis itu yang bergerak kesana kemari entah melakukan apa saja. Terakhir, gadis itu mengangkat jemuran di sisi sebelah kiri dan saat kembali ia terheran karena Ale masih duduk di situ.

"Masih disini? bukannya gerah dan bau" tanyanya. Ale mengangguk. Memang benar gerah dan bau. Badannya sangat tidak nyaman setelah jatuh di tumpukan sampah tadi. 

"Boleh aku tau namamu? aku Ale" Ale mengulurkan tangan kanannya ke depan. Berniat salaman. Gadis itu hanya menatap uluran tangan itu. Tidak berniat membalas. Bagaimana bisa pula dibalas, sedang dua tangannya mendekap baju jemuran. Merasa bodoh, Ale menarik kembali uluran tangannya ke samping badan. Gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah, ya kalau bisa disebut rumah. Meletakkan baju-baju yang sudah dicuci, walau tetap saja baju itu terlihat kumal sehabis dicuci. Mencuci baju menjadikan baju itu bersih bukannya baru. Gadis itu keluar, dan menarik tangan Ale di samping badan untuk dijabat. 

"eh" Ale sedikit terkejut.

"Nuri" kata gadis itu mengenalkan diri. 

Ketahuilah nabastala, Nuri namanya. Dengar sarayu, Nuri namanya. Ingat bagaskara, Nuri namanya. Semesta, kau pun boleh mengenal, Nuri namanya.

Tuhan Sayang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang