Biar tertulis di sini kisah yang seharusnya ikut menyertai. Walau hanya beberapa penggal kalimat. Biar kalian tau seberapa keras hidup yang dijalani seorang anak manusia yang kini masih di usia belasan tahun. Biarlah bebannya terbagi lewat sebait, dua bait paragraf.
Bertanya pada semesta, itu sia sia. Semesta hanya bisa bicara tanpa bersuara, dua kali diulang agar kalian tak melupa. Semesta, dia yang bertanggung jawab atas candaannya yang tidak biasa. Kalau begitu, mari mulai kisah ini dari yang paling awal.
Entah saat itu sedang musim penghujan atau kemarau. Cuaca sedang tak menentu. Malam itu, saat gelap menyelimuti sebagian permukaan bumi. Saat hanya ada satu lampu teplok yang menggantung di dinding salah satu rumah kolong jembatan. Saat masih belum ada sehelai selimut pun yang jadi penghangat. Padahal angin bertiup sedemikian kencangnya.
Dan setelah proses langit dan laut yang saling membantu, mencipta awan yang menurunkan hujan. Malam itu puncaknya, air yang terkumpul banyak sekali kira nya, awan tak bisa membendungnya lagi. Air itu tumpah ruah menjadi hujan yang sangat deras. Rintiknya besar besar, sakit jika terkena kulit. Guntur pun tak mau tertinggal. Beradu dengan kilat yang hadir bergantian. Dan kalian mungkin sudah bisa menebaknya.
Bagaimana pula ada yang setega itu. Bagaimana bisa semesta membiarkan keadaan itu. Kalian tau... bayi itu masih merah. Mengginggil kedinginan di atas tumpukan sampah. Kalian tau bagiamana bibirnya yang putih pucat. Kulit rapuhnya yang semakin detik berlalu semakin membiru. Kalian tau bagaimana bayi itu berjuang hidup di antara guntur yang bersahutan, di antara derasnya aliran air yang menerjang. Beruntung, bayi kecil itu tidak tertimbun sampah yang mungkin saja longsor. Bagaimana bayi sekecil itu kesusahan menghirup udara dengan hidung kecilnya.
Tuhan, bila malam itu memang garis takdirnya hanya sampai di situ. Ribuan malaikat sudah bersiap mengebaki langit untuk menjemput. Ribuan malaikat siap mengepakkan sayapnya untuk mengiring bayi mungil itu. Bila memang garis takdirnya hanya sampai di situ, apa yang akan terjadi Tuhan... malang sekali nasibnya. Dilahirkan ke dunia hanya untuk menyuarakan tangis untuk pertama dan terakhir kalinya. Bila pun ia tiada, tak ada yang menyesalinya Tuhan, tak ada yang menangisi kepergiannya. Siapa orang tuanya. Siapa dua manusia itu yang begitu tega membuang bayi mungil itu. Siapa yang bertanggung jawab Tuhan,..
Sebelumnya mungkin bayi itu Kau tanya. Dan mungkin saja ia memilih untuk tetap hidup. Walau nanti hidupnya penuh kejutan dari semesta yang tak mengenakkan. Tapi atas pilihan tersebut Kau datangkan seorang penolong. Bukan manusia sempurna. Seorang waria usia 20 tahun, yang terbirit-birit berlari dari jalanan setelah dikejar petugas satpol PP.
Kau tajamkan pendengarian waria itu Tuhan, kau tingkatkan ke pekaannya pada sekitar. Sehingga ia bisa mendengar rintihan kecil itu. Tangisan pelan dari bayi yang sudah diujung tanduk kematian.
Lalu bagaiamana akhirnya? Waria itu terkejut setengah mati mendapati bayi yang sudah putih pucat di atas tumpukan sampah. Apa yang dilakukannya pertama, sedang tak ada seorang pun di luar sana yang bisa ia mintai tolong. Semuanya mendekam di bawah atapnya masing-masing, hujan malam ini penyebabnya. Waria itu mengambil bayi itu perlahan, mengalir deras air matanya bersama dengan air hujan. Didekapnya bayi itu ke dalam pelukan. Didekapnya erat-erat. Dibawanya berlari secepat mungkin untuk berteduh. Dilepaskannya bedong bayi yang basah itu. Diganti dengan kain apa saja yang ada. Apa saja yang ia punya.
Mata bayi itu tertutup, pelan sekali detak jantungnya. Panik, tidak tau harus berbuat apa lagi. Waria itu menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu cepat-cepat menempelkannya ke badan si bayi. Ia lakukan berulang-ulang disertai rintihan doa dari bibirnya yang menggumam. Disertai air matanya yang tak berhenti keluar.
"Kumohon, kumohon tetap hidup"
Entah doa siapa yang didengar, dengan cara-NYA Tuhan membuka perlahan sepasang mata kecil itu. Bayi itu menangis kencang, seolah berkata pada dunia yang kejam bahwa dia siap dengan permainan semesta yang tak mengenakkan. Atas kehendak Tuhan, entah bagaimanapun caranya, bayi itu selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Sayang Kamu
Teen FictionKisah yang kali ini akan bergulir memang sebatas kisah klise dengan dia yang menjadi sebab adanya kisah klasik ini. Dia yang menjadi alasan adanya pertanggung jawaban semesta atas candaannya yang tidak biasa. Sebelumnya terima kasih atas kehadiranny...