Ale dan Bu Agis sampai di rumah sakit tanpa ada kurang satu pun. Syukurlah jantung bu Agis masih baik-baik saja setelah dibawa kebut-kebutan oleh Ale. Setelah berlari di sepanjang lorong, Ale akhirnya berhenti di depan sebuah kamar. Disusul bu Agis yang datang lebih lama. Dia sudah tidak bisa lari secepat Ale lagi sekarang.
Ale terdiam, menatap dari balik kaca pintu ruangan itu. Lihatlah, gadis itu terbaring lemah disana. Dikelilingi berbagai selang yang menempel di tubuhnya. Dia menutup matanya dengan tenang. Acuh dengan tenaga medis yang berseliweran di sekitarnya. Jika melihat ke belakang, sungguh tak pernah terlihat pemuda yang sedang menatap lekat gadis yang tengah terbaring itu menangis walau ia menanggung beban di pundaknya seberat apapun itu. Tak pernah ia menangis merutuki takdir yang merenggut papanya terlalu cepat. Tak pernah ia menangis karena lelah mengurus Anya yang sering rewel sedari kecil, sedang mamanya terlalu sibuk untuk sekedar bermalam di rumah. Tapi kali ini, melihat gaun yang dikenakan gadis itu, gaun biru laut cerah yang diberikannya kemarin, demi gaun yang biru lautnya kini kotor ternoda darah dimana-mana. Hatinya teriris melihatnya. Satu bulir air mata keluar dari mata kirinya. Hatinya berdenyut sakit saat menyadari Nuri terluka karenanya. Nuri terluka saat dalam perjalanan menuju rumahnya. Bagaimana jika seandainya ia kemarin keukeuh ingin menjemput gadis itu? Apa mungkin kejadiannya tidak akan seburuk ini.
"Bukan salah siapa siapa Al. Semesta juga tidak bersalah kali ini. Ini murni atas nilai kebaikan dalam hati Riri. Ia bertaruh atas keselamatannya kali ini" terang bu Agis. Ale tidak mengerti. Apa maksud kalimat bertaruh atas keselamatan yang di sebutkannya.
Bu Agis beranjak duduk di kursi tunggu yang disediakan. Ale mengikuti untuk duduk di sebelahnya. Bu Agis terlihat ingin mengatakan sesuatu, dan Ale tertarik untuk mendengarnya.
"Gadis itu tidak ketiduran seperti yang kau sebutkan tadi" ucapnya, sedikit terkekeh. Mengurangi suasana serius yang tercipta. Ale juga tau, mana mungkin Nuri ketiduran. Itu tadi hanya alibi konyol yang Ale buat untuk menenangkan hatinya.
"Bahkan mungkin Riri tidak bisa tidur semalaman" bu Agis mengendikkan bahu, tidak terlalu yakin dengan ucapannya barusan, ia juga tidak tau.
"Kenapa? Apa Nuri punya masalah dengan tidur?" tanya Ale.
"Tidak, tentu saja tidak. Setelah bekerja seharian, sebagian orang yang kutau langsung terlelap saat waktunya tidur. Tenaga yang dikeluarkan terlalu banyak jadi mereka cenderung langsung tidur saat malam hari untuk mengisi tenaga" Ale mengangguk. Ada benarnya. Tapi kenapa bu Agis bilang Nuri tidak tidur semalaman tadi malam."Mungkin gadis itu terlalu gugup untuk menyambut hari esok Al. Ia tidak sabar menunggu matahari terbit menampakkan sinarnya. Mungkin gadis itu tidak sabar memakai gaun indah pemberianmu, siapa tau kan" kata bu Agis, entah itu hanya kalimat godaan atau berupa fakta. Ale sudah sibuk tersenyum malu mendengarnya.
"Riri bersiap terlalu awal bahkan tadi kulihat. Kutanya mau kemana? Ia menjawab 'Mau ke rumah Ale.. bantu-bantu acara ulang tahun adiknya' begitu katanya" Ale menunduk. Teringat acara ulang tahun Anya yang mungkin tidak berjalan lancar. Ia khawatir adiknya yang sendirian di acara ulang tahunnya. Ia baru merutuki dirinya yang bodoh sekarang. Seharusnya tadi dia menjelaskan lebih baik kepada Anya. Seharusnya ia mengucap kata maaf pada Anya.
"Kau mungkin tidak seharusnya membiarkan adikmu sendirian di hari ulang tahunnya Al. Tidak tau betapa hancur hatinya sekarang" tebak bu Agis yang sangat tepat sasaran. Tapi pilihan apa yang dihadapkan ke pemuda itu."Mau pulang? Temui adikmu. Riri biar aku yang jaga" Ale menggeleng. Ia masih ingin disini. Setidaknya sampai mendengar kabar Nuri baik baik saja. Urusan Anya akan ia tangani nanti. Ale harap Anya bisa maklum. Bu agis tersenyum. Mengharagai keputusan Ale. Pemuda itu dihadapkan pada pilihan yang terlalu sulit. Wajar saja ia bingung.
"Tidak ada yang salah pada kejadian hari ini. Hari ini malah menjadi saksi betapa putih hati Riri. Ia benar mempertaruhkan keselamatannya sendiri hari ini"
"Bagaimana kejadiannya?"
"Tidak ada bagus-bagusnya. Seorang ibu lalai menjaga balitanya. Balita itu berlari mengejar kupu-kupu dan turun ke jalanan. Saat itu Nuri mungkin melihatnya. Bertepatan dengan Truk yang melaju dari arah barat. Nuri berteriak panik, sekuat tenaga berlari menghampiri balita itu. Ia mungkin tak pusing-pusing memikirkan keselamatannya sendiri. Ia mungkin malah berharap bisa berlari lebih kencang lagi, berharap tangannya sedikit panjang atau apalah itu yang menyokong untuk menyelematkan si balita. Gadis baik itu tak memikirkan betapa sakit tubuhnya yang akan tertabrak truk. Di pikirannya hanya balita itu selamat.Detik-detik itu sangat mengerikan Al. Ditambah teriakan ibu balita itu yang sebenarnya sangat terlambat. Kemana saja ia sedari tadi, sibuk dengan ponsel di tangannya. Tubuh Riri terpental beberapa meter setelah bersentuhan dengan badan truk. Saat itu mungkin kupu-kupu yang dikejar balita itu menebak-nebak akan berakhir bagaimana gadis itu. Dan poinnya adalah Riri berhasil menyelamatkan balita itu. Itu poin terpentingnya. Itu kabar bahagia diantara semua kabar buruk hari ini. Balita itu selamat." cerita bu Agis, menghembuskan nafas lega di akhir kalimat. Dia ikut bersama Riri tadi siang, jalannya searah dengan tempatnya mengamen. Ia juga menjadi salah satu tokoh yang berteriak kencang saat kejadian itu terjadi.
Bu Agis membuka tas besar yang ia dekap daritadi. Isinya baju-baju Nuri untuk ganti selama dirawat di rumah sakit juga keperluan lainnya. Bu Agis terlihat mengeluarkan sebuah buku kusam dari sana. Ale sepertinya pernah melihat buku itu tapi dimana, ia tidak ingat. Bu Agis menunjukkan buku itu kepada Ale.
"Kau mau meminjamnya?" tanya bu agis
"Buku apa itu?" tanya balik Ale.
"Buku harian Nuri" jawab bu Agis singkat.
"Eh bukannya tidak sopan? -Ehh Nuri bisa menulis?" Ale tidak tau Nuri bisa menulis bahkan punya sebuah buku harian.
"Ck jangan kau pikir karena tidak sekolah jadi tidak bisa menulis. Nuri itu gadis cerdas. Diajari sedikit langsung bisa. Buktikan saja nanti sendiri. Ajari dia matematika yang kata banyak orang terlalu rumit, aku yakin dia dapat menangkapnya dengan baik. Dan juga aku menawarkannya jika kau mau saja. Jika menurutmu ini tidak sopan ya tidak usah" Ale sedikit menimang. Akhirnya tangannya mengambil buku itu dari tangan bu Agis.
"Aku tau rasa penasaranmu lebih besar dari rasa bersalah karena tidak sopan. Kau ini tipe yang mudah tergoda ya Al"
"Eh enak saja. tidak jadi kalau begitu" Ale mengembalikan buku itu kepada bu Agis. Wajahnya kusut. Bu Agis tertawa melihatnya "Aku hanya bercanda. Ambillah. Kau yang simpan buku ini sampai Riri siuman" bu Agis menggenggamkannya ke tangan Ale. Ale merengut kesal merasa telah dikerjai. Saat memegang dan melihat dengan seksama buku itu, Ale ingat ia pernah melihat buku itu sebelumnya. Sudah setahun lebih yang lalu. Saat pertama kali ia berpapasan dengan Nuri. Di gerbong kereta bewarna putih dengan corak dua garis biru. Masih ingat suara gaduh yang ditimbulkan oleh buku dan koran yang berserakan? Ale rasa salah satunya adalah buku ini. Buku bersampul coklat kusam dengan tulisan latin besar-besar di tengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Sayang Kamu
Teen FictionKisah yang kali ini akan bergulir memang sebatas kisah klise dengan dia yang menjadi sebab adanya kisah klasik ini. Dia yang menjadi alasan adanya pertanggung jawaban semesta atas candaannya yang tidak biasa. Sebelumnya terima kasih atas kehadiranny...