Jika hujan turun membawa berkah bagi seluruh umat manusia, dan langit menawarkan lengkungan MeJiKuHiBiNiU nya yang menawan, maka perlu kah bertanya lagi Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?
Hari ini cuaca sedang bagus. Burung pun sempat berkicau di salah satu dahan pohon. Tapi sejak semalam gadis itu terlihat sendu. Hari ini rasanya ia tidak ingin melakukan apa-apa. Gadis itu tengah menenteng kresek hitam yang mungkin isi di dalamnya beberapa bungkus roti. Ia mau berjalan-jalan. Dari pagi hingga sore. Kemanapun kakinya melangkah. Entah sedang dilanda masalah apa. Gadis itu ingin melarikan diri sejenak.
Sedangkan di saat yang sama, Ale berlari dari ujung jalan hingga kesini. Berhenti sejenak, membungkukkan badan mengatur nafas. Ngos-ngosan sekali kelihatannya. Tapi dia senang, raut muka nya cerah sekali. Tapi akhirnya raut muka cerah itu sedikit menguap. Kecewa, Nuri tidak di rumah. Padahal dua hari tidak bertemu. Karena ia sibuk dengan sekolahnya.
Tapi tidak apa-apa. Ale mau menunggu.
Ale berkali kali melongok ke jalan, mengira Nuri yang datang. Tapi bukan, Nuri belum juga datang. Menghela nafas, lalu semenit kemudian tersenyum. Teringat kenangan yang lalu. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh jatuh ke tumpukan sampah. Dan tidak terasa pula itu sudah setahun yang lalu.
***
Ale ketiduran saat gadis itu datang. Nuri menggoyangkan lengan Ale pelan. Membangunkan
pemuda itu. Mata ale terbuka, mengerjap berulang. "Nur?" tanyanya masih setengah sadar."Nur!" pekik Ale memeluk gadis itu. Nuri membelalakkan matanya terdiam kaku. "Kau darimana saja? Aku menunggu daritadi. Ku kira kau pergi dari sini Nur" ocehnya panjang lebar. Sedang Nuri masih dalam keterpakuannya. Tak ada balasan. Dan ale sepertinya baru menyadari kelakuannya yang hmmm apa masuk dalam kategori kurang ajar? Ale melepas pelukannya canggung. Menunduk sedalam-dalamnya. Malu berbuat begitu.
"-Maaf.." pelan sekali. Entah terdengar di telinga Nuri atau hilang terhempas angin. Hening beberapa detik. Ale menggaruk rambut belakangnya, masih menunduk dalam-dalam.
"Pulanglah" kata gadis itu akhirnya. Berjalan cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Menutup pintu yang terbuat dari triplek itu rapat-rapat.
"Nur kau marah?!"
"Nur!" Ale mengetuk pintu itu. "Aku sungguh minta maaf"
"Nur?!"Ale menyerah. Gadis itu tidak mau menanggapi. Bagaimana ini?
"Nur maaf. Boleh marah tapi jangan sampai besok. Aku pulang dulu" Ale akhirnya pulang dengan wajah tidak tenang. Nuri marah padanya.
Aduh, Semesta..
Padahal siapa yang marah? Sedang dibalik pintu, gadis itu sibuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak tidak normal.
***
"Kau masih marah?" tanya Ale, siang ini datang ke tempat Nuri sepulang sekolah.
Nuri menoleh sekilas. Lalu lanjut mengerjakan pekerjaannya.
"Iya? Kau masih marah?" tanya Ale lagi.
"Marah kenapa" tanya balik Nuri. Ale tergeragap menjawabnya "Ah itu kemarin em e' iya itu kemarin" Ale memalingkan muka nya ke samping. entah rasanya pipinya memanas.Nuri tidak menghiraukan. Membuat Ale menyebikkan bibir. Yah sudahlah yang penting kan jelas Nuri tidak marah.
"Nur kau besok sore senggang atau tidak?"
"Kenapa?"
"Tanggal 16 ulang tahun Anya. Aku ingin merayakannya sekali-kali. Kalau kau senggang, mau kuajak berbelanja?" Ajak Ale.
"Boleh, kemana?"
Ale terlihat berpikir. Ia belum pernah membeli peralatan untuk merayakan sebuah ulang tahun sebelumnya. Jadi belum tau. Ah ke mall saja, pikirnya.
"Di pasar barangnya juga banyak yang bagus Al" Nuri mendahuluinya berbicara. Yah itu saja. Nuri solutif kan. Menyarankan yang lebih baik.
"Kue dan makanannya?" tanya Ale. Teringat hal yang pokok.Nuri menaikkan alis, terheran. Kok tanya padanya?
"Untuk yang itu kau tanya mamamu saja. Aku mana pernah makan begituan" balas Nuri.
"eh" Ale salah bicara lagi ya."Nur" panggil Ale.
Nuri menoleh. Mengendikkan dagu bertanya kenapa. "Sebentar saja" Ale mengulurkan tangan ke arah Nuri."Ayo"
Nuri bangkit walau sebenarnya malas. Tanpa menerima uluran tangan Ale. Ale sih senang-senang saja jika sarayu yang menanggapi uluran tangannya, hanya saja semut kecil di tiang besi itu tertawa begitu lepasnya.***
Ale mengajak Nuri ke salah satu tukang bakso di jalan besar. "Makan Nur" Ale meletakkan mangkok bakso milik Nuri ke hadapan gadis itu, setelah menerimanya dari abang baksonya.
"Makasih bang" ucap Ale yang diangguki si abang tukang bakso. Tadinya, sebelum Nuri memprotes sih Ale sudah keburu memesan baksonya.
"Nur makan" suruhnya lagi, melihat gadis itu yang tak kunjung memakan bakso miliknya.
"Aku sudah makan" ucap Nuri. Kentara sekali bohongnya. Sejak kemarin gadis itu tidak makan.
Bukan karena tak punya uang, roti yang kemarin saja utuh tak tersentuh."Nur makan" ulang Ale ketiga kalinya. Nuri menggeleng "Aku sudah makan" jawabnya kukuh.
Ale berdecak, sedikit kesal. Tidak biasanya kan Nuri begini. "Iya sudah makan tapi kemarin lusa?!" Nuri diam saja. Tebakan Ale mungkin benar atau bisa saja salah karena yang ditanyai pun lupa kapan tepatnya."Hei Nur dosa kau hari ini yang sudah kuhitung adalah dua kali berbohong dan dosa besar mendzalimi cacing-cacing perutmu" kata Ale yang sebenarnya serius tapi karena Ale memberatkan suara nya jadi seperti suara bapak-bapak, Ale jadi tertawa sendiri.
Nuri juga ikut tertawa. Sedikit.
Sebenarnya di dalam kepala gadis itu sedang bertumpuk tanya yang begitu banyaknya dan ia tidak berani menanyakannya. Karena ia tidak ingin menjadi orang yang tidak tau diri setelah begitu banyak dikasihi. Melihat tawa ale, membuat Nuri semakin tidak berani mencoba menjadi orang yang tidak tau diri.
Tapi semesta, kalau gadis itu sudah tak cukup kuat menahan diri, jangan hakimi dia ya. Karena di dalam tidurnya entah berapa kali terbawa mimpi, kau juga tau dia sedang merindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Sayang Kamu
Novela JuvenilKisah yang kali ini akan bergulir memang sebatas kisah klise dengan dia yang menjadi sebab adanya kisah klasik ini. Dia yang menjadi alasan adanya pertanggung jawaban semesta atas candaannya yang tidak biasa. Sebelumnya terima kasih atas kehadiranny...